Di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi sebelum 1998, tersembunyi struktur bisnis yang rapuh dan tak siap menghadapi guncangan. Krisis moneter sendiri bukan sekadar tentang kejatuhan nilai rupiah, melainkan momen kejatuhan kepercayaan yang ‘menelanjangi’ kelemahan mendasar dunia usaha Indonesia, terutama di tangan para konglomerat.
Founder Mayapada Group, Dato Sri Tahir, yang juga merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia usaha Indonesia pun tak segan memberikan refleksi yang tajam dan jujur tentang sisi kelam dari struktur ekonomi saat itu.
“Setelah deflasi berapa kali, pengusaha sudah mulai mengamati bahwa kita harus belajar ekspor. Karena di dalam suatu negara yang berapa kali deflasi, memang industri ekspor yang paling baik untuk dikerjakan. Kita bisa menikmati keuntungan lebih banyak,” papar Tahir dalam sebuah video, dikutip Olenka, Minggu (3/8/2025).
Namun, menurut pria kelahiran 26 Maret 1952 ini, masalah utama saat itu adalah produk Indonesia tidak kompetitif di pasar internasional.
Untuk mengatasinya, kata dia, para pengusaha meminta kepada pemerintah dua hal, yakni sistem tarif tinggi atau monopoli. Menurut Tahir, ini mencerminkan ketergantungan pada proteksi pemerintah, alih-alih inovasi dan daya saing sejati.
“Barang kita tidak pernah bisa kompetitif di luar negeri. Maka para pengusaha ini meminta bantuan kepada pemerintah waktu itu, memiliki dua hal. Satu, high tariff system atau monopoli,” ungkapnya.
Baca Juga: Deretan Bisnis Milik Dato Sri Tahir di Bawah Naungan Mayapada Group
Dibeberkan Tahir, kondisi ini terus berlarut-larut hingga akhirnya meledak dalam bentuk krisis besar pada 1997–1998.
Tahir menilai, krisis ini bukan penyebab utama kehancuran ekonomi, tapi semacam ‘pendedahan besar’ terhadap cara berbisnis yang selama ini dianggap normal.
“Tanpa kasus tahun 1997-1998, cara konglomerat Indonesia mengerjakan bisnis, pasti bangkrut. Tidak perlu dilalui krisis. Karena cara dagang demikian, itu tidak pernah bisa langgeng,” tegas Tahir.
Tahir juga mengkritik mentalitas sebagian pelaku usaha yang menganggap uang pinjaman dari bank, terutama bank milik negara, seolah bukan kewajiban yang harus dikembalikan.
“Mungkin para pengusaha ini anggap bahwa meminjam uang dengan pemerintah, dianggap itu bank nenek moyangnya. Tidak perlu dibayar, tidak perlu dinilunasi,” ungkap Tahir dengan nada getir.
Bagi Tahir sendiri, krisis moneter 1997–1998 bukan sekadar gejolak ekonomi biasa. Ia memandang periode kelam itu sebagai momen kebenaran yang membuka ‘topeng-topeng semu’ dalam dunia bisnis. Ketika badai menghantam, barulah terlihat siapa yang berdiri di atas fondasi yang rapuh.
“Kasus tahun 1997–1998 sebetulnya adalah suatu ‘penelanjangan’, bagaimana bobroknya para konglomerat atau struktur fondasi ekonomi kita,” tutup Tahir dengan nada penuh keprihatinan.
Baca Juga: Stop Jadi Biasa! Ini Pesan Dato Sri Tahir Biar Hidup Kamu Luar Biasa