Kekhawatiran akan masifnya promosi rokok elektrik juga menjadi perhatian Manik Marganamahendra selaku Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC). Dalam sebuah kajian berjudul "Rokok Elektronik: Baju Biru Bisnis Adiktif", IYCTC menemukan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat masif di media sosial dan tak jarang dilakukan oleh influencer yang memiliki potensial follower remaja dan dewasa muda.
"Produsen rokok elektronik sangat militan dalam penjualan, mengiklankan, bahkan mempromosikan dengan hal yang menarik untuk kaum muda. Pemerintah harusnya belajar dari kejadian masa lampau, ini seperti dejavu, dulu awal rokok jadi tren juga dimulai seperti ini. Seharusnya ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk bekerja lebih cepat lagi dalam permasalahan rokok," terang Manik.
Untuk mengatasi hal tersebut, Manik meminta pemerintah segera mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur peredaran rokok elektrik. Apalagi, katanya, riset IYCTC juga menemukan begitu mudahnya toko penjual rokok elektrik dibuka. Ini menjadi kekhawatiran khusus IYCTC karena selain promosi yang belum diatur, berarti ada kemudahan dalam mengedarkan rokok elektrik.
Atas dasar kepedulian tersebut, kampanye #DirtyEcigs digulirkan dengan salah satunya adalah melakukan doodling challenge. Kegiatan tersebut mengajak kaum muda mengubah foto terkait rokok elektronik menjadi karya yang menggambarkan sesuatu yang lebih positif, asyik, sehat, dan bermanfaat. Hingga saat ini, lebih dari 250 karya terkumpul hasil dari antusiasme campaigner #DirtyEcigs di seluruh Indonesia.
Kampanye #DirtyEcigs sudah berjalan di Instagram sejak bulan April lalu dan masih akan terus berjalan untuk melawan promosi rokok elektronik. Selain doodling challenge, rangkaian kampanye ini juga akan diisi dengan TikTok challenge berkonsep pantun bersambung yang akan hadir hingga akhir Juni 2024. Perkembangan kampanye #DirtyEcigs dapat dipantau lewat akun instagram @sfafortc dan @suara_tanpa_rokok.