183.000 pekerja migran Indonesia (PMI)  ilegal lolos berangkat ke Arab Saudi di tengah pemberlakuan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara Timur Tengah tersebut. Dari jumlah tersebut 25.000 orang diantaranya berangkat  sepanjang 2024.   

Fenomena tersebut membuat Komisi IX DPR RI keheranan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dinilai kebobolan. Ada sistem yang dinilai lemah bahkan salah. 

Baca Juga: Komitmen Penuh Lindungi PMI, KemenP2MI Beri Perawatan dan Pulangkan Pekerja Migran Indonesia di Korsel yang Koma Akibat Kecelakaan Kerja

"Sudah jelas-jelas ada moratorium, tapi kok masih ada ratusan ribu yang berhasil berangkat secara ilegal? Ini artinya ada sistem yang lemah, ada kebobolan serius,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Kepala BP2MI, Abdul Kadir Karding, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta dilansir Selasa (29/4/2024).

"Kalau begini faktanya, sebenarnya apa tugas dan fungsi atase tenaga kerja di Arab Saudi? Kok bisa kebobolan sebanyak ini," tambahnya. 

Nurdin meminta Kementerian BP2MI menjabarkan secara terperinci peraturan yang paling rentan dibobol. Dia mempertanyakan, mana aturan yang berpotensi terjadinya pengiriman PMI secara nonprosedural dalam jumlah besar, meskipun sudah ada moratorium resmi.

"Bagaimana mungkin di tengah moratorium yang bertahun-tahun ini kita kebobolan sampai ratusan ribu PMI? Sekali lagi aturan mana yang rentan sehingga bisa dibobol? Karena pengiriman ilegal ini terus terjadi," terang Nurhadi. 

Anggota Komisi di DPR yang salah satu bidang kerjanya terkait ketenagakerjaan tersebut, lantas menyinggung keberadaan 183.000 PMI nonprosedural yang saat ini bekerja di Arab Saudi. 

Dia mempertanyakan langkah pemerintah terhadap mereka bila moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi benar-benar dicabut.

"Terkait 183.000 PMI yang ada di Arab Saudi secara unprosedural sebelum moratorium ini dicabut bagaimana nasib mereka? Apakah mereka bisa langsung mendapat perlindungan? Diupgrade lewat melegalisasi dengan aturan baru?" paparnya. 

Seperti diketahui, Pemerintah berencana mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Wacana ini dibarengi dengan klaim bahwa Arab Saudi membuka kuota untuk 600.000 pekerja Indonesia dengan jaminan gaji lebih dari Rp 6,5 juta untuk setiap pekerja.

Jika moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi dicabut, pemerintah Indonesia bisa meraup Rp31 triliun dari remitensi. Meski begitu, wacana ini masih menuai pro dan kontra mengingat masih banyak kasus terkait PMI di Arab Saudi yang belum terselesaikan, termasuk banyaknya kasus hukum dan kasus-kasus kekerasan yang menimpa PMI di Saudi.

Nurhadi pun menekankan pentingnya kejelasan nasib dan perlindungan bagi seluruh PMI, termasuk pekerja migran Indonesia yang masuk ke Arab Saudi melalui jalur nonprosedural.

"Apakah itu akan tetap dibiarkan tanpa status perlindungan hukum?" ungkap Nurhadi. 

Selain soal wacana pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi, rapat kerja Komisi IX DPR hari ini juga membahas penguatan tata kelola perlindungan PMI, peran atase ketenagakerjaan, hingga upaya perlindungan PMI korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di berbagai negara.

Baca Juga: Jokowi Polisikan 4 Orang Terkait Polemik Ijazah Palsu

Nurhadi menegaskan bahwa perlindungan PMI adalah kewajiban negara yang harus dijalankan secara serius, bukan hanya formalitas administratif belaka. "Harap ini menjadi perhatian serius pemerintah untuk melindungi pekerja migran kita," pungkasnya.