Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengeklaim Pilkada Serentak 2024 menjadi hajatan terburuk sepanjang sejarah bangsa Indonesia, pasalnya gelaran pesta demokrasi lima tahunan itu kali ini diwarnai dengan berbagai aksi yang mencederai demokrasi bangsa ini. 

Jeirry mengakui gelaran Pemilu memang sukar dipisahkan dari aksi-aksi curang, namun khusus Pilkada 2024 kecurangan-kecurangan itu diumbar secara gamblang. 

Jeirry menyebut standar etik dan moral Pilkada 2024 sudah anjlok terlalu jauh jika dibanding Pilkada-pilkada sebelumnya.  Untuk itu dia menilai status pemilu terburuk sepanjang sejarah sudah pas untuk menggambarkan proses Pemilu tahun ini. 

Baca Juga: PDIP Takluk di Kandang Sendiri, Jawa Tengah Masih Jadi Rumah Kaum Marhaen?

“Standar etik dan moral itu, dari satu pemilu ke pemilu lain, itu makin buruk. Ini pengalaman saya ya. Dan saya kira pemilu 2024, lalu diikuti oleh pilkada 2024, ini titik paling buruk sebetulnya,” kata Jeirry dalam sebuah diskusi yang digelar PARA Syndicate Senin (2/12/2024). 

Menurut Jeirry ada banyak hal  yang meruntuhkan standar etika dan moral di Pilkada 2024 ini lewat berbagai aksi kecurangan, misalnya politik uang yang disebutnya sudah dilakukan terang-terangan tanpa rasa malu pada Pilkada 2024. 

Selain politik uang, ketidaknetralan Aparat sipil negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu juga dilakukan pihak tertentu tanpa ada rasa sungkan, belum lagi pengerahan aparat negara seperti Polri untuk memenangkan pasangan tertentu juga turut merusak citra Pilkada 2024. 

“Tetapi dulu orang masih malu-malu bicara politik uang. Sekarang nggak malu-malu lagi. Itu terang-terangan. Netralitas ASN dari dulu sudah masalah. TNI Polri sudah masalah. Tapi dulu itu masih takut-takut. Kalau sekarang nggak lagi, malah nantangin,” ujarnya.

Paslon Endorsement

Situasi politik yang buruk di Pilkada 2024 adalah karpet merah bagi pasangan calon yang didukung oleh sebuah kekuatan besar misalnya kekuatan orang-orang di pemerintahan atau kekuatan mantan pejabat negara. 

Jeirry mengatakan, di Pilkada 2024 pasangan calon yang tak dikenal masyarakat menjamur di mana-mana,mereka berani tampil dan mencalonkan diri karena ada kekuasaan besar di belakang mereka. Menurutnya hal ini seperti ini yang justru merusak kualitas Pilkada, paslon yang berkonotasi bahkan tak punya visi misi yang jelas, sebab tujuan mereka hanya ingin berkuasa. 

Baca Juga: Kandang Banteng Diacak-acak, Hasto: tapi Jokowi Gagal Tenggelamkan PDI-P

“Dan fenomena itu yang sekarang kita lihat di 2024. Ada banyak orang nggak dikenal masyarakat sama sekali, tapi berani maju. Kenapa? Karena dia Ajudan Jokowi. Karena dia orang dekatnya Prabowo, dia saudaranya Prabowo, dan lain-lain. Nah kalau dulu, dan ketika dia mau maju, sudah ketahuan cara mainnya,” ujarnya. 

Munculnya paslon endorsement jelas merusak tatanan demokrasi, sebab kalaupun mereka terpilih, itu bukan karena visi misi mereka melainkan karena tokoh-tokoh yang mendukung mereka, masyarakat memilih mereka melihat siapa sosok yang mengendorse pasangan tersebut.   

Di sisi lain jika mereka tak berhasil mengumpulkan suara untuk memenangi pertarungan Pilkada, maka sistem demokrasi bakal diutak atik dan dirusak secara sistematis, aksi akal-akalan hingga pengerahan kekuatan yang melibatkan lembaga negara  seperti TNI-Polri bahkan lembaga penyelenggara Pemilu seperti Bawaslu dan KPU bakal dilakukan untuk memenangi pasangan ini. 

“Kalau dia laku dipilih orang, selesai. Gitu ya dalam pemilihan Hari H, menang dia. Tapi kalau nggak laku di situ, itu direkayasa sedemikian rupa lewat proses rekapitulasi supaya dia menang. Seluruh kekuatan dia punya, ini bukan kekuatan rakyat nih, seluruh kekuatan yang dia punya, birokrasi, TNI Polri, macam-macam itu ya. Mobilisasi aparat-aparat sipil negara, dan seterusnya. Semua kekuatan ini dipakai untuk dia menang,” ucapnya. 

Manipulasi Rekapitulasi Suara

Selain rawan penyalahgunaan instrumen negara, hal yang paling mengerikan dari munculnya paslon-paslon dadakan yang diendorse pejabat dan eks pejabat adalah mencurangi suara rakyat. Menurut Jeirry gerombolan ini bisa dengan mudah memanipulasi hasil rekapitulasi suara di setiap tempat pemungutan suara. 

“Nah dan ini faktanya. Bapak Ibu tahu, yang punya hasil pemilihan di TPS di hari Hari H itu selain KPU dan kemudian Bawaslu yang punya adalah polisi. Dan ini mereka tahu lebih dulu, karena mereka punya sistem rekapitulasi. Mereka punya sistem rekapitulasi yang nggak pernah dipublikasi,” ujarnya. 

Baca Juga: Deretan Perusahaan yang Terlibat dalam Program Makan Bergizi Gratis Gagasan Presiden Prabowo

“Dan ini bisa dijadikan bahan untuk main dalam proses rekapitulasi. Jadi kalau gagal dipilih oleh masyarakat pada Hari H, itu kecurangan dan manipulasi itu akan dilakukan lewat proses rekapitulasi. Baik itu rekapitulasi digital atau manual,” bebernya. 

Menurut Jeirry rekapitulasi suara lewat aplikasi daring milik KPU, Sirekap sangat mudah diakali tanpa ketahuan masyarakat, sebab data-data dari setiap TPS tidak bisa terkawal maksimal oleh masyarakat. 

“Makanya saya nggak pernah percaya Sirekap nih. Maaf aja. Bagaimana kita yakin data yang ditampilkan oleh KPU dalam rekapitulasi yang diambil dari Sirekap ini, itu data yang betul-betul valid. Saya nggak yakin. Bisa sudah diubah tuh. Karena kita nggak pernah tahu,” tutupnya.