Rendahnya partisipasi masyarakat di Pilkada serentak 2024 menjadi sebuah fenomena baru yang menjadi sorotan, beberapa provinsi seperti DKI Jakarta dan Sumatera Utara tercatat memiliki partisipasi Pilkada terendah sepanjang sejarah. Sebagai gambaran partisipasi masyarakat di Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen saja, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen.
Menanggapi fenomena ini, Pakar ilmu politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Ardli Johan Kusuma mengatakan, ada banyak hal yang melatarbelakangi masalah tersebut, namun faktor utamanya adalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap seluruh kontestan yang berlaga pada hajatan tersebut, krisis kepercayaan itu yang membuat masyarakat enggan menggunakan hak politik mereka.
Baca Juga: Bawaslu Akui Politik Uang dan Pelanggaran Netralitas ASN Warnai Pilkada Serentak 2024
Menurutnya, kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa kepala daerah hanyalah figur politik yang tak bisa berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat, siapapun kepala daerahnya toh nasib mereka tak banyak berubah, pandangan seperti yang memicu masyarakat menjadi apatis dan ogah berpartisipasi pada Pilkada Serentak 2024.
"Ada satu penyebab utama yang saya lihat dalam konteks rendahnya partisipasi pemilih pada saat pilkada, yaitu munculnya anggapan bahwa pemilihan kepala daerah tidak akan memberikan dampak yang signifikan untuk mereka atau dengan kata lain masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap para calon kepala daerah," kata Ardli kepada wartawan Rabu (4/12/2024).
Selain krisis kepercayaan, indikator lain yang membuat Pilkada Serentak 2024 sepi peminat adalah masalah figur pasangan calon yang maju dalam kontestasi lima tahunan itu. Menurut Ardli, pasangan calon yang tak menarik dan tak membawa ide-ide brilian semasa kampanye hanya bikin masyarakat semakin muak.
Ini seharusnya menjadi catatan penting partai politik dalam mengusung pasangan calon kepala daerah, apabila mereka memajukan figur-figur kompeten, maka masyarakat dengan kesadaran penuh dan secara sukarela menggunakan hak pilih mereka.
“(Mencalonkan kepala daerah yang berkualitas) sehingga masyarakat secara sadar akan menggunakan hak pilihnya sebagai sebuah kebutuhan menjadi warga negara," ujarnya.
Melihat fenomena yang terjadi sekarang ini pemerintah dan segenap perangkat penyelenggara pemilu tak bisa berdiam diri, harus ada gerak pelajaran politik untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar pada pemilu-pemilu mendatang, masyarakat tak lagi menunjukkan sikap acuh tak acuh.
"Menumbuhkan kesadaran politik pada masyarakat melalui pendidikan politik bahwa keterlibatan mereka dalam penentuan kepala daerah sangat diperlukan," pungkasnya.