Ia pun menggambarkan, dunia investasi digital yang berkembang pesat ternyata memiliki sisi gelap yang tak kalah menggiurkan dan berbahaya, yakni spekulasi berlebihan yang nyaris tak beda dengan praktik berjudi.
“Kripto ini sebetulnya setengah-setengah judi ini. Tapi memang orang kita suka judi,” tukas Hendra.
Hendra tidak hanya menyentuh isu kripto, tetapi juga menggambarkan sebuah kecenderungan sosial yang lebih dalam.
"Makanya di masyarakat itu pemerintah mau berantas judi online gak akan gampang," ujarnya.
Menurutnya, budaya spekulasi dan keinginan untuk ‘cepat kaya’ telah mengakar, bahkan menjadi bagian dari cara sebagian masyarakat melihat peluang. Bahkan ajang seperti Piala Dunia bisa menjadi momen untuk berjudi massal.
“Karena memang di ajang Piala Dunia aja semua langsung taruhan gitu kan, siapa yang menang gitu kan. Memang itu yang fun-nya," tambah Hendra.
Lebih lanjut, Hendra juga menyoroti bagaimana harga bitcoin bisa digerakkan oleh pemain-pemain besar yang mendominasi pasar.
"Nah hati-hati juga, saya melihat data. Karena sebetulnya bitcoin ini dinominasi oleh pemain-pemain besar yang bisa mobilize market. Ini kayak saham. Orang-orang kaya semua beli harga naik, orang-orang kaya jual semua harga turun. Kita investor kecil cuma bisa berdoa," jelas Hendra.
Di akhir pemaparannya, Hendra menegaskan bahwa ia bukan berarti melarang eksplorasi terhadap teknologi ini. Dirinya hanya menyarankan untuk tetap bijak dan rasional dalam mencoba hal-hal baru.
"Kalau ada tabungan ekstra buat belajar, silakan. Tapi jangan uang sekolah ITB dimasukin ke kripto. Nah itu jangan," tandasnya.
Baca Juga: Mengenal Hendra Lembong, Bankir Ulung Jebolan Teknik Kimia yang Jadi Kandidat Kuat Presdir BCA