Pemerintah tengah mewacanakan moratorium ekspor kelapa bulat sebagai upaya menjaga pasokan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri dan mendorong hilirisasi. Usulan tersebut dilontarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyusul keluhan dari pelaku industri lokal yang mengalami krisis pasokan akibat maraknya ekspor kelapa mentah ke luar negeri.

“Kami mengusulkan moratorium ekspor kelapa bulat selama tiga hingga enam bulan, sebagai langkah strategis untuk menjamin keberlangsungan industri pengolahan dalam negeri,” ujar Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika yang dikutip Olenka pada (02/05/2025).

Langkah ini dinilai sejalan dengan kebijakan nasional hilirisasi komoditas, yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri. Pemerintah bahkan mempertimbangkan untuk mengenakan bea keluar terhadap ekspor kelapa sebagai opsi awal, sembari menyiapkan regulasi teknis penghentian ekspor secara temporer.

Baca Juga: Kenaikan Harga Komoditas Kelapa di Indonesia

Putu menambahkan bahwa dana dari bea keluar ini akan digunakan untuk peremajaan pohon kelapa yang saat ini banyak yang sudah tua dan tidak produktif.

“Dengan insentif dari bea ekspor, kita bisa bantu petani remajakan kebun mereka. Ini penting agar pasokan dalam negeri tetap terjaga dalam jangka panjang,” ujarnya.

Terkait rencana pemerintah tersebut, bagaimana respon industri dan para petani? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut pembahasannya:

DPR dan Pemerintah Pusat Dukung Kebijakan

Sejumlah anggota DPR RI juga mendukung kebijakan tersebut, menyebut moratorium ekspor sebagai langkah tepat untuk melindungi industri nasional dan memaksimalkan potensi ekonomi dari produk olahan kelapa.

“Selama ini kita terlalu lama mengekspor bahan mentah. Sudah waktunya kita kirim barang jadi agar petani dan negara dapat nilai lebih,” kata anggota Komisi IV DPR RI, Slamet Ariyadi, dalam wawancara dengan Antaranews Manado (28/4/2025).

Pemerintah berharap moratorium dapat mendorong investor asing untuk membangun pabrik pengolahan di Indonesia, bukan hanya mengambil bahan mentah dan mengolahnya di luar negeri. Konsep ini sudah diterapkan dalam industri nikel dan menunjukkan hasil positif.

Baca Juga: Optimalisasi Potensi Komoditas Kelapa Nasional Lewat Hilirisasi

Respon Petani dan Pemda

Namun, rencana tersebut menuai penolakan dari kalangan petani dan pemerintah daerah penghasil kelapa. Mereka menilai kebijakan ini tidak adil karena bisa membuat harga kelapa anjlok dan berdampak langsung pada pendapatan petani.

“Kalau ekspor dihentikan, siapa yang mau beli kelapa petani? Industri lokal belum tentu bisa serap semua. Harga pasti turun,” kata H. Ikbal Sayuti, anggota DPRD Provinsi Riau.

Ia menilai pemerintah pusat belum melakukan dialog terbuka dengan petani atau pemerintah daerah sebelum merancang kebijakan ini. Riau, sebagai salah satu sentra produksi kelapa di Indonesia, sangat bergantung pada pasar ekspor, terutama ke India dan Tiongkok.

“Kebijakan ini seperti mematikan petani pelan-pelan. Moratorium ini bisa picu kemiskinan baru di desa-desa penghasil kelapa,” ujar Ikbal.

Baca Juga: Peluang Rantai Nilai dan Produk Turunan Kelapa

Penolakan serupa juga disuarakan asosiasi petani kelapa di Sulawesi dan Kalimantan Barat, yang khawatir harga kelapa jatuh karena kelebihan pasokan di pasar domestik.

Isu Global dan Risiko Perdagangan Internasional

Di sisi lain, kebijakan moratorium ini juga berisiko menimbulkan tekanan diplomatik dari negara-negara importir. India, Bangladesh, dan beberapa negara Timur Tengah merupakan pembeli utama kelapa bulat dari Indonesia. Jika suplai terganggu, harga kelapa global bisa melonjak dan memicu respons keras dari negara-negara mitra dagang.

Menurut analis perdagangan internasional, Indonesia perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini agar tidak melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau perjanjian bilateral yang telah disepakati.

Baca Juga: Produktivitas Kelapa Masih Rendah, Kementan Dorong Peremajaan dan Varietas Unggul

“Moratorium bisa dianggap tindakan proteksionis kalau tidak dikomunikasikan dengan baik secara internasional. Ini bisa berdampak pada reputasi dagang Indonesia,” kata Arif Setiawan, pengamat ekonomi dari CORE Indonesia.

Dengan begitu, wacana moratorium ekspor kelapa menandai langkah tegas pemerintah dalam mendorong industrialisasi dan hilirisasi sektor perkebunan. Namun, tanpa perencanaan matang dan komunikasi intensif dengan petani serta pemangku kepentingan di daerah, kebijakan ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi, serta memicu konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

Pemerintah didesak untuk menyediakan skema transisi yang adil, insentif bagi petani, dan pembangunan industri di wilayah produksi agar nilai tambah dari hilirisasi bisa dirasakan merata.