Komoditas kelapa tengah menjadi sorotan publik usai harganya melonjak tajam di berbagai wilayah Indonesia, terutama selepas momentum Lebaran 2025. Di pasar-pasar tradisional hingga tingkat petani, harga kelapa meningkat dua hingga tiga kali lipat dibanding bulan-bulan sebelumnya.

Kondisi ini tak hanya memengaruhi sirkulasi perdagangan di dalam negeri, namun juga mencerminkan tantangan struktural dalam tata niaga komoditas perkebunan di Indonesia. Di tengah peningkatan permintaan global dan domestik, serta lemahnya regulasi ekspor, kenaikan harga kelapa memperlihatkan bagaimana satu komoditas bisa berdampak luas terhadap berbagai sektor, dari hulu hingga hilir.

Harga Tembus Rekor Baru

Di Jakarta, harga kelapa bulat sempat menyentuh angka Rp30.000 per butir pasca-Lebaran. Wakil Menteri Perdagangan, Dyah Roro Esti Widya Putri, menyebut bahwa pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan distribusi dan ekspor untuk menstabilkan harga di dalam negeri.

Baca Juga: Peluang Rantai Nilai dan Produk Turunan Kelapa

"Ini akan kami evaluasi dan bahas dengan kementerian serta pelaku industri. Stabilitas harga penting agar tidak merugikan konsumen,” ujar Dyah Roro saat dikutip pada (23/04/2025).

Kenaikan serupa terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur. Harga kelapa ukuran sedang yang biasa dijual Rp12.000 per butir kini naik menjadi Rp25.000. Kelapa ukuran besar bahkan mencapai Rp30.000. Para pedagang mengeluhkan keterlambatan pasokan dari Bali akibat Hari Raya Nyepi, ditambah ledakan permintaan menjelang Lebaran.

Di wilayah produsen, seperti Tasikmalaya dan Garut, harga kelapa di tingkat petani naik 100 persen, dari Rp2.500 menjadi Rp5.000 per butir. Di Tangerang, harga kelapa melonjak dari Rp4.000 menjadi Rp8.000 per butir selama semester kedua 2024 dan berlanjut hingga awal 2025.

Pendorong Kenaikan

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa kenaikan harga kelapa banyak dipicu oleh meningkatnya permintaan ekspor, terutama dari Tiongkok. Volume ekspor kelapa bulat tercatat meningkat signifikan sepanjang 2024, menekan pasokan untuk pasar domestik.

Baca Juga: Produktivitas Kelapa Masih Rendah, Kementan Dorong Peremajaan dan Varietas Unggul

“Permintaan dari negara-negara tujuan ekspor, terutama China, meningkat signifikan. Ini menjadi salah satu penyebab utama kenaikan harga di pasar domestik,” ujar Budi.

Masalah diperparah oleh lemahnya pengawasan regulasi ekspor. Banyak produsen lebih memilih menjual ke luar negeri demi harga jual yang lebih tinggi. Di saat bersamaan, permintaan kelapa dalam negeri pun melonjak tajam menjelang Lebaran, terutama untuk kebutuhan olahan makanan khas Indonesia.

Siapa Untung, Siapa Buntung?

Bagi petani kelapa, harga yang tinggi merupakan kabar baik. Mereka mendapatkan pendapatan yang lebih besar dan merasa hasil jerih payah mereka akhirnya dihargai. Namun, keuntungan ini tidak berlaku merata.

Di lain sisi, pelaku industri makanan, seperti pembuat kue tradisional, produsen santan, hingga UMKM kuliner, mengaku kewalahan dengan harga bahan baku yang terus naik. Beberapa terpaksa mengurangi porsi kelapa dalam produk mereka, bahkan menaikkan harga jual ke konsumen.

Baca Juga: Hati-hati! Ini Kelompok Orang yang Tidak Disarankan Minum Air Kelapa, Apa Alasannya Ya?

Sementara itu, konsumen menjadi pihak yang paling terdampak. Harga produk berbahan dasar kelapa seperti kue, sayur bersantan, dan jajanan pasar mengalami kenaikan yang terasa di kantong masyarakat kelas menengah ke bawah.

Tantangan ke Depan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi kelapa nasional tahun 2024 mencapai 2,89 juta ton dari lahan seluas sekitar 3,3 juta hektare. Namun, jumlah tersebut dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan domestik secara bersamaan.

Pengamat pertanian mendorong adanya pembenahan tata kelola komoditas kelapa di Indonesia. Pemerintah dinilai perlu menyeimbangkan antara orientasi ekspor dan keberlanjutan pasokan dalam negeri, serta mempercepat program revitalisasi kebun kelapa rakyat yang sudah tua.