Pemerintah Indonesia berencana merevisi target energi terbarukan dari yang sebelumnya 23% menjadi 17-19% pada 2025 sebagaimana tertuang dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tak hanya itu, puncak emisi dari energi ditarget tercapai antara tahun 2030 hingga 2040. Pada 2060, Indonesia ditarget dapat mencapai netralitas karbon alias net zero emission (NZE) dengan porsi energi baru terbarukan (EBT) antara 70 sampai 72 persen dari bauran energi nasional.

Berdasarakan keterangan Dewan Energi Nasional (DEN), target-target dalam PP KEN yang lama pada 2025 sulit tercapai karena pertumbuhan ekonomi tidak sesuai yang diharapkan, yakni tumbuh 7 sampai 8 persen sehingga perlu direvisi. Menanggapi hal tersebut, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR), meminta pemerintah mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini, alih-alih menurunkan target energi terbarukan.

Baca Juga: Menyambut Baik Rencana Pemerintah Buka 2,3 Juta Lowongan CPNS di 2024

"Karena, walau masih dalam draf RPP KEN, indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia," Deon menegaskan, dikutip Senin (5/2/2024).

Menurut Arif Adiputro, Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC), revisi target bertentangan dengan netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29-31%. Pasalnya, untuk mencapai kedua target ini, Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45% pada 2030.

"Penurunan target bauran energi terbarukan menghambat upaya mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini dapat berdampak negatif pada upaya transisi energi di Indonesia yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Arif.

Selain itu, draf revisi KEN juga menargetkan pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60% (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW) sebagai solusi strategi transisi energi.

Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, menuturkan bahwa revisi PP tentang KEN ini seharusnya dijadikan peluang untuk memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman. Karenanya, revisi yang disusun seharusnya justru menetapkan target ketat pengakhiran ketergantungan pada energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan.

"Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan," ujar Grita.

Risiko lain yang dihadapi dengan diturunkannya target adalah berkurangnya potensi pekerjaan hijau (green jobs). Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, memperkirakan prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik energi terbarukan dapat mencapai 432 ribu pada 2030 jika pemerintah konsisten dengan target 23% pada 2025 dan meningkat menjadi 31% pada 2050. Potensi lapangan kerja ini tercatat 10 kali lipat dari 2019 dan melebihi jumlah tenaga kerja di sektor energi fosil pada saat ini.

"Ketika target ini diturunkan, prospek penciptaan green jobs dari sektor energi terbarukan akan ikut menurun. Padahal, potensi green jobs yang meningkat akan berkontribusi pada pencapaian target Indonesia mendapatkan investasi untuk pengembangan industri hijau, menjawab kebutuhan pekerjaan di masa depan, dan dukungan masyarakat pada energi terbarukan," tutur Verena.

Baca Juga: Ketua MPR RI Bamsoet Dorong Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan Pajak Hiburan

Harus Meningkat

Deon menambahkan, jika ditilik dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, aspek ekonomi sudah tidak lagi menjadi hambatan pengembangan energi terbarukan. Karena harga listrik energi terbarukan, terutama surya dan angin beserta biaya integrasinya ke jaringan kelistrikan, diakui sudah dapat bersaing dengan PLTU yang mendapat insentif harga batu bara US$ 70/ton.

"Jadi, masalahnya bukan di keekonomian energi terbarukan, tapi proses pengembangan dan pengadaannya. Ini yang perlu diperbaiki dengan cepat. PLN sudah merencanakan membangun energi terbarukan 20,9 gigawatt (GW) di RUPTL 2021-2030, tetapi realisasi masih lambat sampai saat ini," Deon menjelaskan.

Untuk itu, PLN disebutnya perlu didorong untuk mengubah proses pengadaan energi terbarukan menjadi lebih masif, dilakukan secara berkala, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga perlu mendukung dan membuka peluang bagi sektor industri, komersial, dan masyarakat untuk berkontribusi mengembangkan energi terbarukan.

"Pemerintah sudah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PTLS atap 3,6 GW pada 2025. Namun, regulasi PTLS atap, yakni Peraturan Menteri ESDM 26/2021, masih tertunda implementasinya. Hambatan ini harus diselesaikan," kata Deon.

Menurut Arif, pemerintah perlu membuat kebijakan yang berpihak pada energi terbarukan seperti memberikan insentif fiskal dan nonfiskal. "Insentif itu dapat mengurangi biaya pengembangan energi terbarukan. Selain itu, DPR dan DPD perlu mengkritisi dan mengajukan hak angket kepada pemerintah terkait revisi target bauran energi terbarukan yang tidak selaras dengan komitmen ratifikasi UU Paris Agreement," kata Arif.

Dia menekankan, Pemerintah Indonesia perlu mengubah kebijakan dan strateginya dengan benar-benar mendorong pengembangan energi terbarukan.