Webinar bertajuk “Decarbonizing the Built Environment in Asia” baru-baru ini mengupas strategi inovatif untuk mengurangi emisi karbon dalam sektor lingkungan binaan di kawasan Asia yang sedang mengalami urbanisasi pesat. 

Pada sesi ini, dipandu oleh Reshma Vaskaran, Group Marketing Manager di Ingeco, menghadirkan para ahli untuk berbagi wawasan mengenai tantangan dan peluang dekarbonisasi.

Untuk diketahui, Dalam Peran Lingkungan Binaan dalam Perubahan Iklim, sektor real estat menyumbang sekitar 40% dari total emisi karbon global, yang terdiri atas 28% dari operasional bangunan dan 12% dari konstruksi. Di Asia, urbanisasi yang cepat memperbesar urgensi untuk menemukan solusi guna mengurangi jejak karbon tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Anu Talreja, CEO Accacia, memberikan solusi diskusi dengan menyoroti pentingnya mengatasi risiko iklim melalui pendekatan yang terukur. Helen Wong dari AC Ventures menekankan peran teknologi dalam pengumpulan data dan pengelolaan energi, sementara Arista Dharsono Heinz dari Asia Green Real Estate menyoroti peluang retrofit untuk meningkatkan efisiensi bangunan yang sudah ada.

Baca Juga: Bentoel Group Dorong Dekarbonisasi melalui Digitalisasi dan Fleksibilitas Kerja

“Retrofit bangunan menawarkan solusi hemat biaya untuk memenuhi target nol emisi pada 2050. Di Asia, sekitar 80% stok bangunan saat ini diproyeksikan masih berdiri pada tahun tersebut. Namun, hanya 20% dari bangunan yang ada dianggap efisien secara energi,” ujar Arista Dharsono Heinz seorang Kepala Keberlanjutan Global, Asia Green Real Estate kepada Olenka pada Kamis (07/12/2024).

Perlu diketahui, solusi retrofit mencakup:

  • Optimisasi HVAC: Sistem pendingin di Asia Tenggara mengonsumsi hingga 80% energi bangunan. Peningkatan efisiensi HVAC dapat menghasilkan pengurangan energi hingga 30%.
  • Penggunaan Sistem Manajemen Pintar: Meliputi pencahayaan berbasis sensor, kontrol otomatis, dan elektrifikasi sistem bangunan.
  • Penghematan Karbon Terkandung: Retrofit bangunan lama mengurangi kebutuhan material baru, sehingga mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari proses konstruksi.
  • Kerangka Regulasi yang Mendukung, Pemerintah di Asia mulai menawarkan insentif bagi pengembang yang berinvestasi dalam retrofit ramah lingkungan, memberikan dorongan untuk adopsi solusi berkelanjutan.

Sedangkan di bagian teknologi dan inovasi dalam dekarbonisasi, Helen Wong menyoroti pentingnya pengumpulan data yang akurat sebagai langkah awal untuk dekarbonisasi. Dengan teknologi seperti IoT dan sistem manajemen terintegrasi, bangunan dapat dilengkapi untuk memantau dan mengoptimalkan konsumsi energi.

Baca Juga: Sinergi Pertamina Patra Niaga dan Vale Indonesia Dorong Dekarbonisasi dengan HVO

“AI dapat menganalisis data energi untuk memberikan rekomendasi penghematan, seperti optimasi penggunaan chiller dan boiler. Sedangkan Digital Twin Technology memungkinkan simulasi perubahan pada bangunan untuk memprediksi dampaknya terhadap konsumsi energi,” ungkap Helen Wong.

Dalam hal ini juga, perlu adanya dukungan untuk inovasi energi. Oleh karena itu, startup memainkan peran besar dalam menciptakan solusi untuk transisi energi di sektor real estat, seperti:

  • Pencahayaan LED hemat energi.
  • Integrasi sumber energi terbarukan.
  • Sensor canggih untuk manajemen HVAC.

Baca Juga: Urgensi Penerapan Dekarbonisasi dalam Industri Semen

Dengan begitu, hal ini dapat mendorong kolaborasi dan adopsi, serta semua panelis sepakat bahwa kolaborasi antara pemangku kepentingan mulai dari pengembang, pemerintah, hingga investor teknologi sangat penting untuk mempercepat adopsi solusi dekarbonisasi.

Dekarbonisasi lingkungan binaan di Asia memerlukan kombinasi strategi retrofit, teknologi canggih, dan dukungan regulasi. Dengan urbanisasi yang terus meningkat, Asia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin global dalam membangun kota yang berkelanjutan, mengurangi emisi karbon tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.