Di balik kesuksesan Ir. Ciputra sebagai maestro properti Indonesia dan sosok visioner di balik banyak proyek prestisius negeri ini, tersimpan lembar kehidupan masa kecil yang suram dan menyayat hati.

Dalam biografi The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra membuka tabir kelam masa kecilnya di Gorontalo, masa yang penuh pengekangan, tekanan emosional, dan perlakuan keras dari keluarga yang mengasuhnya.

Diceritakan dalam buku tersebut, setelah kepergian ayahnya, Ciputra kecil, yang kala itu baru berusia enam tahun, dititipkan bersama kakaknya, Ako, ke rumah kerabat di Gorontalo. Di sana, ia harus hidup di bawah bayang-bayang dua perempuan bertabiat keras yang ia sebut Tante Sioe dan Ci Tiem.

“Tante Sioe dan Ci Tiem seperti dua serdadu yang siap melumat kami. Mereka selalu berhasil menciptakan ketegangan yang mencekam. Ako terlihat lebih tabah dan tak peduli. Tapi saya betul-betul merana atas perlakukan keras di sana. Beruntung anak-anak perempuan Tante Sioe yang lain cukup baik. Mereka adalah Ci Lies dan Ci Loan,” papar Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Jumat (30/5/2025).

Ciputra pun lantas mengibaratkan kedua tantenya itu menjalankan rumahlayaknya barak militer. Tak ada ruang bermain, tak ada kebebasan, dan tak ada kelembutan. Hampir semua yang ingin ia lakukan tidak diizinkan. Dirinya hanya boleh belajar, tidur siang, sekolah, dan makan

"Benar-benar kaki kami tak boleh menginjak area di luar pekarangan. Bepergian hanya boleh ke sekolah. Setelah itu tak ada satu tempat lain yang boleh kami kunjungi. Bahkan hanya menuju ke lapangan yang tak jauh dari rumah pun tak boleh," kenangnya getir.

Ciputra merasakan tekanan yang luar biasa, baik secara fisik maupun psikis. Ia mengenang bagaimana sekadar keluar ke lapangan dekat rumah pun dilarang, dan satu-satunya tempat selain sekolah yang boleh ia kunjungi hanyalah klenteng untuk mengikuti les sore.

“Jika ingin bermain, maka pekaranganlah tempatnya. Satu-satunya tempat luar selain sekolah yang boleh kami kunjungi adalah sebuah klenteng Tionghoa,” ujar dia.

Terpenjara secara harfiah dan batin, Ciputra pun sering menangis di balik buku pelajaran, merindukan kampung halamannya di Parigi.

“Pada bulan pertama saya berada di sana, setiap hari saya menangis. Saya memegang buku pelajaran di kamar sambil melamunkan Parigi. Betapa rindunya saya pada kampung halaman. Di Gorontalo saya benar-benar tertekan. Sungguh dunia yang sangat berbeda. Saya merindukan pelukan Mama. Dan Papa, walau tidak memanjakan saya, dia adalah ayah yang sangat mengasihi kami,” terangnya.

Penderitaan Ciputra pun kian terasa dalam kejadian-kejadian kecil yang sarat makna. Ia hanya mendapat uang jajan 2 sen per minggu, satu sen untuk amal, dan satu sen untuk membeli sebungkus kecil kacang goreng.

Padahal, ia tahu bahwa sang ayah menitipkan cukup uang dan bekasang (ikan asin fermentasi) untuk biaya hidup dan sekolahnya. Bekasang itu bahkan dijual olehnya kepada tetangga, namun ia tak pernah menerima imbalan.

“Papa tahu saya hanya mendapat 1 sen untuk membeli sebungkus kecil kacang goreng sekali seminggu. Jumlah yang terlampau kecil dibandingkan dengan banyaknya bekasang yang ia bawa. Namun, Papa seperti tak berdaya dan sama sekali tidak membicarakan ini dengan Tante. Ia diam saja,” papar Ciputra.

Satu kejadian yang paling membekas adalah saat ia mendapatkan uang 2 benggol (5 sen) dari seorang kerabat yang berkunjung. Uang itu dianggap hasil mencuri oleh Tante Sioe dan Ci Tiem. Ia diinterogasi dengan bentakan dan akhirnya dikurung seharian di dalam gudang gelap berisi barang rongsokan. Ketakutan dan trauma begitu melekat.

"Pernah suatu kali saya mendapatkan uang 2 benggol, atau setara dengan 5 sen, dari seorang kerabat di Parigi yang menjenguk kami. Namanya Tjin Ho. Ia begitu baik menyelipkan uang itu ke saku celana saya. Betapa girang hati saya,” ujar Ciputra.

Kegembiraan kecil itu tak bertahan lama. Ketika salah satu anggota keluarga melihat uang itu, ia langsung dituduh mencuri. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan, Ciputra kecil dikerubungi dan diinterogasi dengan bentakan keras oleh orang-orang dewasa di rumah itu.

"Tubuh saya yang kecil meringkuk dikelilingi murka mereka. Tetapi mata saya tetap melawan. Dengan berani saya menatap mereka tajam. Itulah perlawanan saya sebagai anak kecil yang merasa diperlakukan tak adil. Mereka boleh membuat tubuh kecil saya menggigil, tapi mata saya tidak akan gemetar,” bebernya.

Baca Juga: Kehidupan Ciputra Kecil yang Keras di Gorontalo: Bak Dipenjara

Kekuatan batin seorang anak kecil yang terpojok tergambar jelas dalam sorot matanya. Ia diam, bukan karena bersalah, tetapi karena tak ingin menyerah pada perlakuan yang ia tahu tidak adil. Namun diam itu dianggap pembangkangan. Ciputra pun dijatuhi hukuman berat, ia dikerangkeng seharian di dalam gudang gelap yang penuh barang rongsokan.

Dalam gudang itu, rasa takut, dingin, dan kehinaan menggerogoti dirinya. Bahkan, ketika ia hendak buang air besar, ia melakukannya di dalam gudang menggunakan kertas, karena begitu takut untuk keluar. Trauma ini begitu dalam menancap dalam benaknya.

"Pengalaman ini demikian pedih menjejak hati saya. Trauma makin kuat mengakar. Saya merasa sangat diinjak-injak. Tidak bisa membela diri,” tukasnya.

Keesokan harinya, barulah kebenaran terungkap. Ia akhirnya mengaku bahwa uang itu berasal dari sepupunya, Tjin Ho, dan pernyataannya dibenarkan. Namun ironisnya, bukan permintaan maaf yang datang, melainkan teguran baru karena tak langsung menjawab saat ditanya.

"Lalu, saya dimarahi lagi. Kata tante saya, 'Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan kami. Kalau saja saat itu dijawab, kamu tidak perlu dikurung dalam gudang!',” bebernya.

Menurutnya, keadilan memang bukan sesuatu yang mudah didapat oleh anak kecil dalam situasi itu. Ditambah lagi, sang Engkong justru mengamini perlakuan keras itu dengan dalih pendidikan keras akan mencetak pria tangguh.

"Anak laki-laki Tionghoa tak boleh lemah, Nyong. Kalau kau salah maka kau memang harus dipukul. Tak bisa kau membantah itu," begitu kata sang Engkong.

Meski demikian, Ciputra tidak tumbang. Justru dari trauma dan luka-luka batin itu, semangatnya untuk bertahan dan berjuang tumbuh. Ia melihat masa kecilnya yang keras sebagai pelajaran hidup yang membentuk karakter pantang menyerah.

"Sampai sekarang saya masih merasa takjub, bahwa cerita kurang lebih delapan puluh tahun yang lalu masih saya ingat. Ini karena kejadiannya sangat merasuk jiwa saya dan tak akan saya lupakan seumur hidup saya. Tetapi di sisi lain, saya harus bersyukur, bahwa pengalaman tersebut yang membuat saya menjadi oknum yang memiliki 'the passion of my life',” tandasnya.

Baca Juga: Awan Mendung dan Ujian Mahaberat Pernikahan Orang Tua Ciputra