Maria Emilia Thomas Yusuf bukan sekadar nama dalam sejarah, tetapi sosok yang meninggalkan jejak mendalam di dunia kesehatan. Dedikasinya tak hanya menyentuh kehidupan orang-orang pada masanya, tetapi juga menginspirasi generasi setelahnya. Meski raganya telah tiada, warisan perjuangannya terus hidup, menjadi cahaya bagi mereka yang berjuang di bidang kesehatan.
Marie Thomas, namanya lebih dikenal. Dia adalah perempuan pertama di Indonesia yang berprofesi sebagai seorang dokter. Lahir di Minahasa, 17 Februari 1896, Marie adalah anak dari pasangan Adrian Thomas dan Nicolina Maramis.
Profesi sang ayah sebagai seorang militer, membuat Marie beserta keluarganya sering pindah tempat tinggal, begitu pun dengan sekolahnya. Marie sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), dan lulus pada 1911.
Setelah itu, Marie melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 1912. Di sinilah ia mendalami berbagai ilmu yang kelak membantunya mewujudkan impian menjadi seorang dokter.
Baca Juga: 12 Perempuan Indonesia yang Berjasa di Bidang Kesehatan
Menariknya, Marie adalah satu-satunya mahasiswa perempuan di antara sekitar 200 mahasiswa laki-laki yang menempuh pendidikan di sana. Tak ayal, kala itu, Marie mendapat perhatian istimewa dan diizinkan tinggal di rumah, tak seperti mahasiswa lainnya yang harus menetap di asrama.
Dalam berbagai sumber disebutkan, Marie Thomas menyelesaikan studinya pada 1922 dengan nilai memuaskan dan menyandang gelar Indische Arts, serta diakui sebagai lulusan perempuan pertama STOVIA. Kelulusan Marie tentunya menjadi berita besar di Hindia-Belanda kala itu, apalagi ia menjadi dokter perempuan pertama di Tanah Air.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Marie memulai praktik kedokterannya di rumah sakit utama di Batavia—sekarang Jakarta, Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, atau kini lebih dikenal dengan Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.
Sepanjang kariernya, Marie dikenal sebagai dokter spesialis ginekologi dan kebidanan. Ia menjadi salah satu dokter pertama yang berperan dalam perumusan kebijakan pengendalian kelahiran melalui metode kontrasepsi Intrauterine Device (IUD). Dengan kepeduliannya terhadap kesehatan reproduksi, Marie mengusulkan penggunaan IUD sebagai solusi untuk membantu mengontrol kehamilan secara lebih efektif.
Selain mengabdi di Jakarta, Marie juga pernah bertugas di Medan dan Manado. Setelah itu, ia kembali ke Batavia dan bergabung dengan Rumah Sakit Budi Kemuliaan, yang didirikan oleh yayasan SOVIA.
Pada 16 Maret 1929, Marie pun menikah dengan Mohammad Joesoef, seorang dokter yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Setelah pernikahan mereka, pasangan ini pindah ke Padang, di mana Thomas bergabung dengan Dinas Kesehatan Masyarakat yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Dienst der Volksgezondheid.
Beberapa tahun kemudian, Marie dan Joesoef pun kembali ke Batavia. Saat itu, Marie mulai aktif dalam organisasi politik dan sosial, termasuk Persatuan Minahasa—partai yang juga diikuti oleh tokoh seperti Sam Ratulangi. Setelah itu, Marie dan suaminya kembali ke Sumatra Barat dan menetap di Fort de Kock—sekarang Bukittinggi.
Baca Juga: 10 Perempuan Pebisnis Ternama di Industri Kecantikan Indonesia
Di sinilah Marie mengambil langkah besar dalam dunia kesehatan. Dengan dukungan sang suami, ia mendirikan sekolah kebidanan pertama di Sumatra pada tahun 1950, yang juga menjadi sekolah kebidanan kedua di Indonesia. Keberadaan sekolah ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Marie, semakin mengukuhkan dedikasinya dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak di tanah air.
Setelah lebih dari 40 tahun mengabdikan diri di dunia kesehatan, Marie menghembuskan nafas terakhir pada 1966. Marie meninggal dunia di usia 70 tahun latara pendarahan otak yang dialaminya.
Namun, mengutip dari laman Kompas, Marie meninggal dunia akibat serangan jantung. Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala RSU Bukittinggi dan sebenarnya telah diberikan cuti selama sebulan karena kesehatannya yang menurun. Namun, Marie tetap bekerja tanpa mengindahkan nasihat rekan-rekannya.
Dalam satu tahun terakhir, Marie diketahui telah mengalami serangan jantung sebanyak enam kali. Sehari sebelum wafat, meski dalam kondisi sakit, Marie masih mengajar di sekolah bidan yang ia dirikan, menunjukkan dedikasi dan semangatnya yang tak tergoyahkan hingga akhir hayat.