Buah Pinjaman Wim Kalona

Pulang ke kampung halaman, Boen justru memilih menjadi ‘tukang obat’, padahal titel menjadi dokter sudah disandangnya kala itu. Sebelum merintis usahanya, Boen sempat melakukan riset obat kulit pada 1960-an dan membutuhkan pendanaan besar, yakni sekira Rp1,5 juta.

Boen pun mengajukan pendanaan untuk membiayai penelitiannya kepada pengusaha farmasi yang dikenalnya, Wim Kalona – pemilik PT Dupa. Sempat terkejut dengan nominal pinjaman, Wim akhirnya menyetujui pinjaman tersebut.

Berkat pinjaman itu, Boen pun merintis PT Farmindo yang memproduksi obat salep bersama rekannya pada 1963. Namun sayang, perusahaan farmasi yang dirintisnya itu gulung tikar setelah berjalan selama tiga tahun lantaran kekurangan modal dan kesulitan memasarkan produk. 

Baca Juga: Produksi Kalbe, Indonesia Punya Dialyzer Lokal Pertama

Mulai Merintis KALBE Farma

Kegagalan PT Farmindo tidak membuat Boenjamin Setiawan menyerah. Sebaliknya, ia justru bangkit dengan semangat baru dan menggandeng kelima saudaranya—Khouw Liep Tjoen, Theresia Harsini Setiady, Khouw Lip Swan, Maria Karmila, dan Fransiscus Bing Aryantodi—untuk merintis bisnis obat-obatan. Bersama-sama, mereka patungan mendirikan pabrik farmasi yang diberi nama Kalbe Farma.

Jangan bayangkan sebuah pabrik besar dengan fasilitas canggih. Kalbe Farma lahir dari kesederhanaan, berawal dari sebuah garasi bengkel milik pasien kakak Boen di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di tempat inilah, pada 10 September 1966, Boen dan saudara-saudaranya mulai mewujudkan impian mereka.

Menariknya, nama Kalbe sendiri berasal dari inisial nama lahir Boen, yakni Khouw Liep Boen, serta saudaranya, Khouw Liep Bing. Inisial “KLB” jika diucapkan membentuk kata "KALBE", yang kini menjadi ikon besar dalam industri farmasi Indonesia.

Kalbe Farma memulai perjalanannya dengan memproduksi obat-obatan sederhana seperti obat sirup, tetes, dan kapsul yang diresepkan dokter. Salah satu produk pertama Kalbe Farma yang laris manis adalah Bioplacenton, di mana mengandung ekstrak plasenta dan neomycin sulfate yang bisa digunakan untuk obat luka luar, khususnya bakar.

Seiring waktu, perusahaan ini terus berkembang hingga akhirnya membangun pabrik di Pulo Mas, Jakarta. Tak hanya meningkatkan kapasitas produksi, Kalbe Farma juga mendirikan laboratorium farmasi untuk mendukung inovasi di bidang obat-obatan.

Perluasan ini menjadi titik balik bagi Boenjamin Setiawan. Dengan fasilitas yang lebih memadai, ia dapat lebih leluasa berinovasi dan menciptakan produk-produk farmasi yang saat itu masih jarang di pasaran.