Berawal dari sebuah garasi kecil, Boenjamin Setiawan membangun mimpi yang kelak mengubah wajah industri farmasi Tanah Air. Dengan keberanian dan visi besar, ia memilih jalur yang tak biasa. Alih-alih berpraktik sebagai dokter usai menempuh pendidikan di negeri orang, Boenjamin justru memilih untuk merintis bisnis obat-obatan bersama kelima saudaranya.

Perjalanan itu penuh tantangan, tetapi kegigihannya membuahkan hasil. Kalbe Farma, yang ia dirikan dengan penuh dedikasi dan inovasi, kini berdiri sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia dan pemain utama di Asia Tenggara. Meski Boenjamin telah tiada, warisan perjuangannya terus hidup, membawa perubahan besar bagi dunia kesehatan Tanah Air.

Boenjamin Setiawan adalah taipan yang lahir di Tegal, 23 September 1933 silam, anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Khouw Sioe Djiang (Djajadiman) dan ibunya Liem Lian Kiok (Yanti). 

Terlahir dari keluarga berada, pendidikan dr. Boen sapaannya itu amat terjamin. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan memiliki ketertarikan besar pada ilmu pengetahuan. Boen mulai merantau ke Jakarta untuk melanjutkan jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan atas (SMA). 

Baca Juga: Mengenang Sosok Maria Emilia Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia

Mengutip dari sejumlah sumber, Boen menyelesaikan studi kedokterannya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1958, lalu melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas California, San Francisco, hingga meraih gelar Ph.D. di bidang farmakologi pada tahun 1961.

Sebelum merintis usaha menjadi pebisnis obat-obatan, Boen mengabdikan diri sebagai dosen muda di Fakultas Kedokteran UI. Di almamaternya, Boen berkesempatan mengajar farmakologi dan farmakokinetik dari tahun 1955 hingga 1986. 

Buah Pinjaman Wim Kalona

Pulang ke kampung halaman, Boen justru memilih menjadi ‘tukang obat’, padahal titel menjadi dokter sudah disandangnya kala itu. Sebelum merintis usahanya, Boen sempat melakukan riset obat kulit pada 1960-an dan membutuhkan pendanaan besar, yakni sekira Rp1,5 juta.

Boen pun mengajukan pendanaan untuk membiayai penelitiannya kepada pengusaha farmasi yang dikenalnya, Wim Kalona – pemilik PT Dupa. Sempat terkejut dengan nominal pinjaman, Wim akhirnya menyetujui pinjaman tersebut.

Berkat pinjaman itu, Boen pun merintis PT Farmindo yang memproduksi obat salep bersama rekannya pada 1963. Namun sayang, perusahaan farmasi yang dirintisnya itu gulung tikar setelah berjalan selama tiga tahun lantaran kekurangan modal dan kesulitan memasarkan produk. 

Baca Juga: Produksi Kalbe, Indonesia Punya Dialyzer Lokal Pertama

Mulai Merintis KALBE Farma

Kegagalan PT Farmindo tidak membuat Boenjamin Setiawan menyerah. Sebaliknya, ia justru bangkit dengan semangat baru dan menggandeng kelima saudaranya—Khouw Liep Tjoen, Theresia Harsini Setiady, Khouw Lip Swan, Maria Karmila, dan Fransiscus Bing Aryantodi—untuk merintis bisnis obat-obatan. Bersama-sama, mereka patungan mendirikan pabrik farmasi yang diberi nama Kalbe Farma.

Jangan bayangkan sebuah pabrik besar dengan fasilitas canggih. Kalbe Farma lahir dari kesederhanaan, berawal dari sebuah garasi bengkel milik pasien kakak Boen di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di tempat inilah, pada 10 September 1966, Boen dan saudara-saudaranya mulai mewujudkan impian mereka.

Menariknya, nama Kalbe sendiri berasal dari inisial nama lahir Boen, yakni Khouw Liep Boen, serta saudaranya, Khouw Liep Bing. Inisial “KLB” jika diucapkan membentuk kata "KALBE", yang kini menjadi ikon besar dalam industri farmasi Indonesia.

Kalbe Farma memulai perjalanannya dengan memproduksi obat-obatan sederhana seperti obat sirup, tetes, dan kapsul yang diresepkan dokter. Salah satu produk pertama Kalbe Farma yang laris manis adalah Bioplacenton, di mana mengandung ekstrak plasenta dan neomycin sulfate yang bisa digunakan untuk obat luka luar, khususnya bakar.

Seiring waktu, perusahaan ini terus berkembang hingga akhirnya membangun pabrik di Pulo Mas, Jakarta. Tak hanya meningkatkan kapasitas produksi, Kalbe Farma juga mendirikan laboratorium farmasi untuk mendukung inovasi di bidang obat-obatan.

Perluasan ini menjadi titik balik bagi Boenjamin Setiawan. Dengan fasilitas yang lebih memadai, ia dapat lebih leluasa berinovasi dan menciptakan produk-produk farmasi yang saat itu masih jarang di pasaran. 

Celah inilah yang dimanfaatkan Kalbe Farma, hingga melahirkan berbagai produk legendaris seperti Kalpanax untuk mengatasi panu, Puyer 16 Bintang Toedjoe, Promag, Komix, Procold, Mixagrip, Entrostop, Fatigon, Woods, Extra Joss, Bejo Sujamer, hingga Diabetasol.

Salah satu terobosan terbesar Boen adalah Promag, obat maag yang diperkenalkan pada 1976. Saat itu, belum ada produk serupa yang tersedia di pasaran, sehingga begitu diluncurkan, Promag langsung laris manis dan menjadi produk unggulan Kalbe Farma. 

Dengan semakin banyaknya obat yang diproduksi, Kalbe Farma pun menguasai pasar farmasi di Indonesia. Tak heran jika perusahaan ini berkembang menjadi raksasa industri farmasi di Asia Tenggara, hingga akhirnya resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 1991 dengan kode saham KLBF.

Setelah 42 tahun mengurus Kalbe Farma, Beon pun turun dari jabatannya sebagai presiden komisioner. Posisi tersebut kemudian digantikan oleh keponakannya, Bernadette Ruth Irawati Setiady.

Baca Juga: Kalbe Gelar Diskusi Daring tentang Influenza: Bisa Sebabkan Pneumonia

Tak hanya bergerak di industri farmasi, Kalbe Farma juga merambah bisnis rumah sakit dengan mendirikan jaringan Rumah Sakit Mitra Keluarga yang kini tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, Boen juga turut andil mengontrol rumah sakit tersebut usai tak lagi mundur dari jabatannya di Kalbe Farma. 

Keberhasilan Boen merintis Kalbe Farma membawa ia dan keluarganya menjadi salah satu keluarga terkaya di Tanah Air. Bahkan, Boen disebut-sebut sebagai dokter terkaya RI. Pada 2021, majalah Forbes mencatat kekayaannya mencapai US$ 4,8 miliar atau setara Rp 60 triliun.

Perjalanan hidup Boenjamin Setiawan berakhir pada 4 April 2023. Meski telah tiada, jejak perjuangannya tetap hidup dalam setiap inovasi yang dihasilkan Kalbe Farma. Warisannya bukan sekadar kesuksesan bisnis, tetapi juga kontribusi besar bagi dunia kesehatan Indonesia.