Growthmates, mungkin banyak di antara kamu yang pernah mengalami fase untuk terlihat baik-baik saja di hadapan banyak orang, tetapi sebenarnya tidak demikian. Tampak senang, tapi sebenarnya tertekan. Terlihat bahagia, tapi sebenarnya menyimpan kesedihan mendalam.
Dalam dunia psikologis, fase tersebut dikenal sebagai duck syndrome. Apa itu duck syndrome?
Sebelumnya, Growthmates pasti pernah melihat seekor bebek meluncur dengan anggun di permukaan kolam, kan? Dari atas permukaan, bebek tersebut terlihat tenang dan dengan mudah mengarungi air. Namun, di balik permukaan yang tenang terdapat kenyataan yang berbeda. Kaki-kaki bebek di dalam air sibuk mengayuh sekuat tenaga, bersusah payah agar tetap bertahan.
Hal tersebut yang menjadi gambaran umum dari pengertian duck syndrome. Duck syndrome menjadi istilah yang mengacu pada sebuah perilaku ketika seseorang sedang dirundung banyak masalah, tetapi tampak baik-baik saja dari luar.
Mengutip dari laman Forbes, istilah duck syndrome pertama kali diciptakan oleh Universitas Stanford. Istilah ini menjadi terkenal di kalangan akademisi sebelum akhirnya menyebar lebih luas sebagai metafora untuk tekanan dan ekspektasi yang melekat dalam masyarakat modern.
Selain kerap terjadi di kalangan pelajar, duck syndrome ini juga sering dialami oleh orang dewasa. Seiring bertambahnya usia, tak jarang mungkin banyak di antara kita yang lebih menutup diri. Lebih tepatnya, menutupi kesedihan dan kesulitan yang dialami, dan memilih untuk terlihat baik-baik saja dihadapan orang lain.
Baca Juga: Mengenal Post Holiday Blues, Perasaan Resah Setelah Liburan Usai! Begini Cara Mengatasinya