Growthmates, mungkin banyak di antara kamu yang pernah mengalami fase untuk terlihat baik-baik saja di hadapan banyak orang, tetapi sebenarnya tidak demikian. Tampak senang, tapi sebenarnya tertekan. Terlihat bahagia, tapi sebenarnya menyimpan kesedihan mendalam.

Dalam dunia psikologis, fase tersebut dikenal sebagai duck syndrome. Apa itu duck syndrome?

Sebelumnya, Growthmates pasti pernah melihat seekor bebek meluncur dengan anggun di permukaan kolam, kan? Dari atas permukaan, bebek tersebut terlihat tenang dan dengan mudah mengarungi air. Namun, di balik permukaan yang tenang terdapat kenyataan yang berbeda. Kaki-kaki bebek di dalam air sibuk mengayuh sekuat tenaga, bersusah payah agar tetap bertahan. 

Hal tersebut yang menjadi gambaran umum dari pengertian duck syndrome. Duck syndrome menjadi istilah yang mengacu pada sebuah perilaku ketika seseorang sedang dirundung banyak masalah, tetapi tampak baik-baik saja dari luar.

Mengutip dari laman Forbes, istilah duck syndrome pertama kali diciptakan oleh Universitas Stanford. Istilah ini menjadi terkenal di kalangan akademisi sebelum akhirnya menyebar lebih luas sebagai metafora untuk tekanan dan ekspektasi yang melekat dalam masyarakat modern.

Selain kerap terjadi di kalangan pelajar, duck syndrome ini juga sering dialami oleh orang dewasa. Seiring bertambahnya usia, tak jarang mungkin banyak di antara kita yang lebih menutup diri. Lebih tepatnya, menutupi kesedihan dan kesulitan yang dialami, dan memilih untuk terlihat baik-baik saja dihadapan orang lain.

Baca Juga: Mengenal Post Holiday Blues, Perasaan Resah Setelah Liburan Usai! Begini Cara Mengatasinya

Gejala Duck Syndrome

Menukil dari laman Better Help, duck syndrome bukanlah diagnosis klinis yang disebutkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Namun, hal ini dikaitkan dengan tanda dan gejala umum yang mirip dengan gejala stres, antara lain:

  • Merasa kewalahan dan tidak terkendali
  • Kesulitan bersantai
  • Rendah diri 
  • Perasaan kesepian dan terisolasi
  • Perbandingan yang mengasumsikan orang lain lebih memegang kendali dibandingkan Anda
  • Merasa gugup
  • Gejala fisik, antara lain energi rendah, sulit tidur, ketegangan otot, gigi terkatup, mual, atau mulut kering
  • Gejala kognitif, termasuk rasa khawatir yang terus-menerus, pelupa, pikiran yang berkecamuk, kesulitan fokus, dan penilaian yang buruk
  • Perubahan perilaku, termasuk perubahan nafsu makan, penundaan, peningkatan penggunaan zat-zat seperti alkohol atau obat-obatan, atau perilaku gugup seperti gelisah atau menggigit kuku.

Meski duck syndrome tidak dapat didiagnosis, masalah kesehatan mental tetap dapat diatasi. Berikut langkah-langkah yang dapat kamu lakukan untuk mendukung kesehatan emosional dan fisik selama beraktivitas:

1. Cobalah strategi manajemen waktu yang baru

Keterbatasan waktu dalam jadwal rutinitas harian,  mungkin menambah rasa kewalahan secara signifikan. Strategi manajemen waktu yang efektif dapat membantumu mengatasi hal tersebut.

Cobalah untuk membagi waktu untuk mengerjakan tugas, pekerjaan,  kewajiban sosial, dan tugas-tugas penting lainnya. Melakukan hal ini dapat membantumu memprioritaskan waktu untuk hal-hal yang sangat penting, menghindari hal-hal yang tidak terduga, dan memiliki waktu untuk istirahat.

2. Gunakan metode belajar yang efektif 

Kalau kamu saat ini masih seorang pelajar, menggunakan tips belajar cerdas dapat membantumu menghemat waktu, meminimalkan stres akademis, dan belajar menjadi lebih efektif.

3. Terlibat dalam aktivitas santai atau menyenangkan 

Melakukan hal-hal yang kamu sukai tanpa ada tekanan dapat mengendalikan stres dan meningkatkan suasana hati. Ini dapat mencakup berbicara dengan teman, berjalan kaki, atau mempraktikkan teknik relaksasi.

Kamu juga dapat memperoleh manfaat dari meditasi atau perhatian penuh selama beberapa menit setiap hari. Penelitian menunjukkan, seringnya meditasi dapat meningkatkan kapasitas otak seseorang. 

4. Latihlah rasa kasihan pada diri sendiri 

Beberapa penelitian menunjukkan, penegasan diri mempunyai manfaat dalam situasi yang mengancam. Afirmasi dapat menurunkan stres, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan kinerja akademik, dan membuat orang lebih terbuka terhadap perubahan perilaku. 

5. Jaga kesehatan fisik

Mengonsumsi makanan sehat , tetap terhidrasi, membatasi kafein, dan melakukan gerakan fisik secara teratur dapat berkontribusi pada kesehatan mental. Selain itu, penelitian menunjukkan hubungan yang jelas antara kualitas tidur dan kesehatan mental .