Konsep pertanian regeneratif di Indonesia belakangan mendapat perhatian. Konsep pertanian yang mengedepankan keseimbangan di seluruh ekosistem itu dipandang jauh lebih ramah lingukungan dan memberi sejumlah manfaat ketimbang cara bertani modern yang pada taraf tertentu dipandang dapat memicu sejumlah masalah serius.
Tak hanya pada lahan pertanian, namun cara bertani secara modern juga berdampak pada emisi gas rumah kaca . Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat sektor pertanian merupakan menyumbang 20% emisi gas rumah kaca global.
“Pertanian regeneratif itu merupakan seperangkat prinsip dan praktik pertanianian untuk merehablitasi dan meningkatkan seluruh ekosistem pertanian yang berfokus kepada kesehatan tanah yang ditujukan untuk meningkatkan serapan karbon (CO2),” kata Ahli Ekologi Tanah, Universitas Brawijaya Prof. Kurniatun Hairiah dalam pemaparannya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Penelitian Kaleka (NGO Lingkungan Berkelanjutan) di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat dilansir Rabu (23/7/2025).
Menurut Kurniatun pertanian regeneratif punya beberapa prinsip penting seperti menekankan prinsip peningkatan kualitas lahan dengan merehabilitasi dan merevitalisasi seluruh ekosistem seperti lahan dan air.
Selain itu, pertanian regeneratif juga berfokus pada pengelolaan air, minimum pupuk dan pemeliharaan serta biodiversitas lahan pertanian yang sehat.
“Peningkatan kesehatan tanah kadar C dan biomasa tanaman lebih besar dan, kualitas produk pertanian dan harga jual akan meningkat,” tuturnya.
Sebagai perbandingan, pertanian modern seringkali bergantung pada pupuk kimia dan pestisida, sementara hewan ternak dikandangkan dan tujuan dari pertanian modern semata-mata hanya berfokus pada ekonomi saja.
Sementara itu pertanian regeneratif justru menerapkan prinsip yang berbanding terbalik, artinya konsep ini sama sekali tidak bergantung pada pupuk dan bahan kimia. Praktik pertanian regeneratif sepenuhnya bergantung pada alam.
“Pertanian regeneratif menggabungkan ternah yang bebas di luar kandang serta memprioritaskan penyerapan CO2 dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Sementara itu Koordinator Sistem Pangan Kaleka Mila Oktavia mengatakan di beberapa daerah penerapan konsep pertanian regeneratif disambut antusias masyarakat, salah satunya adalah para petani di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Bahkan para petani disana mulai mengubah tanaman tinggal menjadi kebun kelapa sawit regenartif berkelanjutan. Dimana program itu menyasar sekitar 149 petani dengan total lahan pertanian regeneratif yang mencapai 221,68 hektare. Dimana jumlah itu naik siginifikan setiap tahun.
Dari hasil analisis yang dilakukan pihaknya diketahui bahwa praktik pertanian regeneratif berdampak langsung pada kondisi lahan pertanian yang tentu saja berimbas pada jumlah dan kualitas hasil panen.
“Cacing tanah pada plot regeneratif mengalami peningkatan 34 persen setelah satu tahun menjalankan praktik regeneratif. Aktifitas cacing di dalam tanah meningkatkan makropori tanah sehingga tingkat kegemburan tanah meningkat. Unsur hara pada air masuk ke dalam pori tanah untuk diserap oleh akar tanaman,” ujarnya.
Baca Juga: Kejar Target Swasembada Gula, Wapres Gibran Dorong Anak Muda Menjadi Pemimpin Revolusi Pertanian
Dari hasil pemantaan dilapangan lanjut Mila Oktavia praktik pertanian regeneratif berdampak sangat positif, salah satunya membuat kondisi biologis tanah meningkatkan populasi cacing tanah yang berimbas langsung pada kesuburan lahan pertanian.
“Kondisi fisik tanah yang lebih gembur karena penggunaan pupuk organik. Selain itu kondisi tanah juga lebih optimal untuk pertumbuhan tanaman (efisiensi hara),” tandasnya.