Wacana penghapusan kuota impor kembali menjadi perbincangan hangat usai Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyuarakan gagasan tersebut dalam Sarasehan Ekonomi. Di tengah upaya reformasi ekonomi dan perdagangan, wacana ini memunculkan berbagai pertanyaan dan pendapat dari berbagai pihak.

Lantas, apakah langkah ini bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi? Atau justru membahayakan fondasi industri dan pertanian dalam negeri?

Sebelum membedah lebih dalam, wacana ini mencuat dari pernyataan langsung Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 8 April 2025 dalam Sarasehan Ekonomi 2025 di Jakarta. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan perlunya menghapus sistem kuota impor yang menurutnya hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha.

“Saya tidak suka sistem kuota. Kenapa hanya segelintir yang bisa impor? Kalau orang lain juga bisa dan punya kapasitas, biarkan dia impor,” ujarnya.

Baca Juga: Sesumbar Presiden Prabowo: Lima Tahun Lagi RI Tak Impor BBM

Prabowo menyoroti praktik kuota impor daging yang menurutnya tidak transparan dan menimbulkan ketimpangan akses. Ia ingin membuka peluang seluas-luasnya bagi siapa pun yang memiliki kapasitas impor agar persaingan lebih sehat dan adil. Gagasan ini menandai arah baru dalam strategi perdagangan pemerintah yang lebih liberal.

Jika dijalankan, kebijakan ini bisa membawa perubahan besar dalam tata niaga nasional. Selama ini, akses impor hanya dimiliki oleh pelaku usaha tertentu yang lolos kuota dan izin dari kementerian terkait. Akibatnya, banyak pelaku UMKM dan petani tidak mampu bersaing dalam pasar yang kerap didikte oleh kartel perdagangan.

Memahami Kuota Impor, Instrumen Perlindungan atau Penghalang?

Sebelum menilai pro dan kontra, penting memahami apa itu kuota impor. Secara sederhana, kuota impor adalah kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah atau volume barang dari luar negeri yang dapat masuk ke Indonesia. Tujuannya untuk melindungi industri lokal dan mencegah pasar dibanjiri produk murah dari luar negeri.

Di Indonesia, aturan ini diatur dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Salah satu instrumen utamanya adalah sistem neraca komoditas, yakni perhitungan kebutuhan nasional yang menentukan besarnya kuota yang dapat diberikan. Neraca ini disusun lintas kementerian dan sering menjadi perdebatan karena dianggap tidak sesuai realitas pasar dan cenderung tertutup.

Namun, sistem ini banyak dikritik karena dianggap tidak transparan, rentan disalahgunakan, dan menyulitkan pelaku usaha kecil untuk masuk ke sektor perdagangan impor. Selain itu, sistem kuota dianggap mempersempit akses pelaku usaha baru, menciptakan oligopoli, dan memicu praktik rente.

Baca Juga: Zulhas Pastikan Tahun Ini Pemerintah Stop Impor Beras dan Jagung

Dalam praktiknya, sistem kuota kerap melahirkan ketergantungan pada importir besar yang punya koneksi dengan pengambil kebijakan. Hal ini menyebabkan ekosistem dagang menjadi tidak sehat dan menghambat terciptanya kompetisi yang jujur.

Komoditas yang Dikenai Kuota

Sistem kuota impor selama ini diberlakukan pada sejumlah komoditas strategis, di antaranya:

  • Beras
  • Gula kristal mentah
  • Produk hewan olahan
  • Barang elektronik
  • Bawang putih
  • Daging sapi dan kerbau

Komoditas-komoditas ini dipilih karena sensitivitasnya terhadap pasar domestik. Harga yang fluktuatif serta potensi dampak sosial ekonomi menjadi pertimbangan utama. Pemerintah menggunakan kuota sebagai alat kontrol untuk menyeimbangkan pasokan dan harga di pasar dalam negeri.

Namun, implementasi kuota sering kali tidak berjalan mulus. Misalnya, keterlambatan penerbitan izin kuota atau ketidaksesuaian jumlah kuota dengan kebutuhan pasar bisa menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga. Ketika pasokan tersendat, masyarakat dan pelaku usaha kecil menjadi korban dari sistem yang tidak adaptif dan tertutup ini.

Baca Juga: Donald Trump Tunda Penerapan Tarif Impor Resiprokal 90 Hari

Bagaimana Respon Para Menteri?

Tak lama setelah pernyataan Presiden, Menteri Perdagangan Budi Santoso angkat bicara. Ia menyatakan belum akan mengambil keputusan mendadak, dan akan meminta arahan langsung dari Presiden.

“Kami akan bertemu Presiden untuk menjelaskan aturan kebijakan impor yang sekarang berlaku. Presiden juga meminta agar dilaporkan terlebih dahulu,” ujarnya dalam sebuah keterangan yang dikutip Olenka pada Jumat (11/04/2025).

Budi juga menjelaskan bahwa penghapusan kuota tidak bisa dilakukan secara sepihak karena berkaitan dengan mekanisme neraca komoditas, lintas kementerian, dan regulasi yang harus disesuaikan. Ia menegaskan pentingnya keterpaduan kebijakan agar tidak menimbulkan gejolak harga atau konflik kepentingan antar sektor.

Selain Mendag, dari jajaran kabinet, ada sejumlah menteri lain yang berpendapat. Dalam hal ini, pandangan soal kuota impor tidak sepenuhnya seragam.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mendukung penghapusan kuota karena dinilai tidak efisien. Baginya, kuota yang selama ini diberlakukan hanya menambah rumit perdagangan di Indonesia.

“Kuota tidak menghasilkan penerimaan negara, dan hanya memperumit perdagangan,” katanya dalam sebuah forum.

Sri Mulyani menilai bahwa kebijakan tarif jauh lebih adil dan terbuka, karena pendapatan masuk ke negara, bukan ke tangan oknum tertentu. Ia juga menyebut bahwa sistem kuota membuat proses impor tidak kompetitif.

Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman justru menyatakan bahwa kuota tetap akan diberlakukan untuk komoditas seperti bawang putih. “Intinya tidak boleh lewat dari kesepakatan Rakortas, titik,” tegas Amran.

Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono lebih menekankan pada penguatan produksi nasional daripada polemik impor. “Kami siapkan benih unggul untuk 3,7 juta hektare lahan. Tujuannya jelas (yakni) meningkatkan produksi nasional agar kita tak perlu impor lagi,” ucapnya.

Baca Juga: Klaim Indonesia Sudah Bisa Swasembada pada 2026, Prabowo: Kita Tidak Akan Impor Beras dan Jagung Lagi

Kekhawatiran Peneliti

Di sisi lain, para peneliti dan pengamat ekonomi menyuarakan peringatan. Andry Satrio Nugroho dari INDEF menilai bahwa kebijakan ini bisa berujung pada banjir barang impor di tengah industri domestik yang belum pulih.

“Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ungkap Andry dalam pernyataan resminya yang diterima awak media.

Andry menjelaskan bahwa banyak industri dalam negeri belum memiliki daya saing harga, terutama dalam hal bahan baku, teknologi produksi, dan skala usaha. Jika kuota dihapus tanpa pengamanan tambahan, maka produsen lokal bisa kalah bersaing dan gulung tikar.

Peringatan ini menekankan pentingnya adanya kebijakan kompensasi bagi pelaku usaha lokal, misalnya dalam bentuk subsidi, pembinaan usaha, serta proteksi melalui standar teknis dan mutu agar pasar domestik tetap sehat.

Senada dengan Andry, Bhima Yudhistira dari Celios juga menyebut bahwa dampak paling nyata akan dirasakan petani dan UMKM.

“Pasar bisa dibanjiri produk impor. Siapa yang paling dirugikan? Petani kita,” tegas Bhima dalam wawancara dengan CNN Indonesia.

Bhima menyatakan bahwa pasar domestik masih belum cukup kuat untuk menyerap kompetisi bebas. Tanpa subsidi, insentif produksi, atau proteksi non-tarif lain, petani lokal bisa kehilangan pangsa pasar hanya karena kalah dalam efisiensi dan biaya produksi.

Ia juga menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada deregulasi, tapi juga menyiapkan instrumen mitigasi risiko agar liberalisasi tidak menimbulkan ketimpangan yang lebih besar.

Tak hanya para menteri dan peneliti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti juga ikut menyuarakan kritik tajamnya. Dirinya menilai sistem kuota telah gagal melindungi pelaku usaha dalam negeri.

Baca Juga: DPR Ingatkan Rencana Pemerintah Impor 2 Juta Sapi untuk Program MBG

“Tata niaga yang bisa diatur (quota) menghancurkan industri dalam negeri, merugikan petani, penambak garam, dll,” tulisnya dalam unggahannya di media sosial.

Susi bahkan menyarankan agar Kementerian Perdagangan dibubarkan dan diganti dengan kementerian ekspor. Ia menyebut sistem kuota telah menjadi ladang bisnis rente dan kartel, yang membuat pelaku usaha kecil tak bisa berkembang.

Wacana penghapusan kuota impor menjadi salah satu kebijakan paling ambisius di awal pemerintahan Presiden Prabowo. Di satu sisi, ini membuka jalan bagi efisiensi dan transparansi perdagangan. Namun di sisi lain, tanpa perisai bagi pelaku lokal, pasar nasional bisa menjadi ladang bebas bagi produk murah asing.

Untuk itu, perlu ada kajian mendalam, reformasi regulasi, dan dukungan nyata bagi sektor produksi sebelum deregulasi ini benar-benar dijalankan. Jika tidak, wacana liberalisasi bisa berubah menjadi krisis baru bagi petani, nelayan, dan industri kecil-menengah yang menopang ekonomi nasional.

Langkah Prabowo ini menandai babak baru dalam arah perdagangan Indonesia. Namun, keputusan akhir perlu mempertimbangkan suara dari berbagai pihak, seperti pelaku industri, petani, peneliti, dan masyarakat luas.