Industri minyak kelapa sawit menjadi salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Minyak sawit tidak hanya berkontribusi pada ekspor dan ketahanan energi, tetapi juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. 

Berbagai produk yang kita gunakan, mulai dari makanan olahan, produk perawatan pribadi, hingga bahan bakar nabati, banyak yang berbahan dasar minyak sawit. Keberadaannya yang luas dalam berbagai sektor menjadikan industri ini memiliki dampak yang besar, baik dari sisi ekonomi maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Anggota Komite Peneliti BPDPKS, dr. Jenny Elisabeth, menilai bahwa peran industri kelapa sawit bagi Indonesia sangat luar biasa. Industri kelapa sawit memiliki peran strategis, terutama dalam perekonomian Tanah Air. 

Pada tahun 2024, minyak sawit menyumbang sekitar 13% dari total ekspor non-migas, dengan nilai sekitar 20 miliar USD. Bahkan, menurut Kementerian Perindustrian, angka tersebut berpotensi meningkat hingga 40 miliar USD. 

Baca Juga: Demi Kesejahteraan Petani, DPR Dorong Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat

Selain kontribusinya terhadap ekspor, industri sawit juga memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional dengan menyumbang 3,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini bukan hanya berperan dalam perdagangan internasional, tetapi juga dalam pertumbuhan ekonomi domestik.

“Selain itu, program biodiesel seperti B35 dan B40 memberikan dampak besar dalam penghematan devisa negara. Pada tahun lalu, penghematan mencapai hampir 123 triliun rupiah, dan tahun ini diprediksi bisa mencapai 150 triliun rupiah karena Indonesia tidak perlu mengimpor solar dari luar negeri. Tapi, kita menggunakan bahan baku sendiri untuk menghasilkan bio solar,” ujar dr. Jenny Elisabeth dalam agenda Grant Riset Sawit & Lomba Riset Sawit Tingkat Mahasiswa yang berlangsung secara daring, Selasa (4/2/2025).

Industri sawit juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, di mana turut meningkat kesejahteraan masyarakat. Terdapat lebih dari 16 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini, termasuk 4,2 juta tenaga kerja langsung, dengan 2,5 juta keluarga yang menjadi petani sawit. 

Dampaknya tidak hanya sebatas penyediaan pekerjaan, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah-wilayah penghasil sawit. Selain itu, industri ini membantu menurunkan angka kemiskinan di daerah sentra sawit dengan memberikan peluang ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat setempat

“Selain manfaat ekonomi, industri sawit juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Hampir semua makanan olahan seperti biskuit, coklat, dan es krim mengandung minyak sawit, sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor lemak dari luar negeri. Minyak sawit juga digunakan dalam bauran energi terbarukan, yang membantu menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia,” papar dr. Jenny.

Rantai Pasokan Industri Sawit (Hulu ke Hilir)

Selain berperan dalam perekonomian dan penciptaan lapangan kerja, industri kelapa sawit juga memiliki rantai pasokan yang luas dan kompleks, mencakup berbagai tahapan dari hulu ke hilir yang mendukung keberlanjutan sektor ini.

Dalam paparannya dr. Jenny menjelaskan bagaimana rantai pasok industri kelapa sawit bekerja, mulai dari tahap produksi hingga distribusi ke pasar global. Perkebunan sawit—baik milik perusahaan swasta, BUMN seperti PTPN, maupun petani rakyat—menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang kemudian dikirim ke pabrik kelapa sawit untuk diproses menjadi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit. 

Setelah itu, minyak ini melewati pabrik pengolahan lebih lanjut, seperti crushing kernel dan refinery, sebelum diolah menjadi berbagai produk hilir.

"Dari refinery ke produk hilir banyak tahapan yang mesti dilalui oleh si minyak sawit untuk sampai ke tangan konsumen. Baik dalam produk pangan, home care, kosmetik, dan biofuel,” jelas dr. Jenny.

Rantai pasok industri sawit juga melibatkan berbagai pihak, mulai dari agen, pengumpul TBS, pabrik, refinery, trader, logistik, dan transportasi yang memastikan distribusi produk sawit ke pasar global. 

Baca Juga: Pemprov Papua Dorong Pengembangan Sawit

Target Industri Sawit 2045

Produksi minyak sawit ditargetkan sebesar 78,35 juta ton pada 2045 mendatang, sebagaimana yang tertuang dalam peta jalan industri sawit menuju Indonesia Emas 2045. 

Jenny memaparkan, produksi minyak sawit saaat ini masih berada di kisaran 51-52 juta ton. Sehingga, perlu adanya peningkatan sekitar 26 juta ton untuk mencapai target sesuai yang diharapkan. 

Namun, untuk mencapai target tersebut tidaklah mudah. Bahkan, pada tahun 2023-2024, tercatat adanya kecenderungan penurunan produksi minyak sawit.

“Untuk memenuhi ini apakah mudah? Sebenarnya sulit. Bahkan, di tahun 2023 ke 2024, sepertinya ada kecenderungan penurunan produksi minyak sawit yang kalau tidak diberi perhatian dan diteliti, maka target 78,35 ton ini kita akan pesimis untuk bisa mencapainya,” tutur dr. Jenny.

Tantangan Industri Sawit dalam Mencapai Target 2045

Lanjut dr. Jenny, ada berbagai tantangan yang dihadapi industri sawit dalam mencapai target produksi yang telah ditetapkan untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045. Pertama, dari segi produktivitas dan rendemen.

Perkembangan industri sawit di Indonesia selama lebih dari 40 tahun, di mana peningkatan produksi Tandan Buah Segar (TBS) di kebun masih relatif kecil. Bahkan, saat ini produktivitas minyak sawit Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Malaysia.

“Produktivitas minyak sawit di Indonesia  masih di bawah Malaysia. Jadi kita Masih punya gape yang cukup besar untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimum,” kata dr. Jenny.

Adapun rata-rata nasional produktivitas minyak sawit Indonesia menyentuh 3,4 ton per hektar per tahun. Sementara untuk perusahaan besar yang memiliki manajemen sawit yang lebih baik rata-rata produksinya mencapa 6,8 ton, dan potensi produksinya sebenarnya ada di 8,0 ton. 

"Jadi kita masih punya gape yang tinggi untuk mencapai potensi produksi ini, nggak sampai 50 persen potensi produksi yang bisa kita kerjakan agar target di tahun emas untuk produksi sawit tercapai,” tambahnya. 

Selain produktivitas, tingkat rendemen atau efisiensi ekstraksi minyak sawit dari Tandan Buah Segar di Indonesia juga masih rendah. Idealnya, produksi TBS harus mencapai 35 ton, sementara Oil Extraction Rate (OER) atau tingkat ekstraksi minyak sawit ditargetkan sebesar 26 persen. Namun, saat ini angka OER masih berada di kisaran 20-21 persen, yang berarti masih ada ruang perbaikan untuk meningkatkan efisiensi produksi minyak sawit.

Kemudian, teknologi ekstraksi minyak sawit tidak mengalami perkembangan signifikan selama 40 tahun terakhir. Proses perebusan dan pengepresan masih membutuhkan banyak energi dan air, sehingga diperlukan inovasi teknologi yang lebih efisien.

Tantangan lainnya adalah peremajaan kebun sawit masih berjalan lambat. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang difasilitasi pemerintah baru terealisasi sekitar 30% dari target, bahkan pada 2024 hanya mencapai 22%.

“Dan untuk pencapain ini maka pemerintah berpikir bahwa atau menerapkan program sertifikasi sustainable palm oil atau sertifikasi ISPO. Jadi, target pemerintah pada 2025, kebun yang sudah tersertifikasi ISPO itu seharusnya sudah semua, tapi sampai saat ini baru 37%, masih ada lebih dari 60% gap dan masalah yang harus kita cari tahu bagaimana jalan keluarnya dan apa penyebabnya,” papar dr. Jenny.

Terakhir, mengenai pemanfaatan limbah sawit. Dari industri sawit di dunia, ada sekitar 100 juta ton limbah yang harus dikelola. Menurut dr. Jenny, saat ini harus berpikir bahwa limbah ini tidak hanya dikelola, tetapi juga harus diolah lebih lanjut agar bisa menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. 

Baca Juga: Kebijakan Baru Penataan Lahan Sawit, Fokus pada Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Ekonomi

Solusi & Strategi dan Masa Depan Industri Sawit

Dari segenap tantangan yang ada, pemerintah dan stakeholder tentunya tak diam untuk bisa mencapai target sawit Indonesia Emas 2045 mendatang. Dr. Jenny juga mengungkap sejumlah langkah strategis untuk mempercepat pencapaian target industri sawit pada 2045.

Di antaranya adalah program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan sertifikasi petani harus dipercepat. Selain itu, perbaikan praktik agronomis seperti penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, teknik panen yang baik, pengendalian penyakit, serta pemulihan tanaman yang terserang harus diterapkan untuk meningkatkan produktivitas.

Kemudian, pengembangan varietas kelapa sawit yang lebih tahan cekaman air, resisten terhadap penyakit, dan lebih efisien dalam menyerap unsur hara juga menjadi faktor kunci dalam meningkatkan hasil panen.

Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit secara signifikan. Selain itu, penerapan teknologi biomolekuler maju di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan pabrik minyak inti sawit juga diperlukan untuk meningkatkan indeks produktivitas dan efisiensi industri sawit secara keseluruhan.

“Di sisi lain, kita juga harus bersiap menghadapi kelangkaan tenaga kerja, khususnya di kebun. Tantangan terbesar ada pada proses panen dan pasca panen, di mana penelitian menunjukkan bahwa mekanisasi dan otomasi dalam panen kelapa sawit merupakan hal yang sulit dikembangkan akibat kondisi lahan yang menantang. Oleh karena itu, perlu inovasi dalam mekanisasi dan otomatisasi yang lebih adaptif terhadap kondisi lapangan,” imbuh dr. Jenny.

Selain itu, digitalisasi juga harus terus dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas operasional dan memastikan ketertelusuran (traceability) hasil panen, sehingga industri sawit dapat lebih transparan dan berdaya saing.