Di tengah situasi dunia yang masih muram oleh konflik dan kekerasan, Madani International Film Festival (Madani Fest) 2025 datang membawa secercah harapan. Mengusung tema “Misykat”, yang berarti Ceruk Cahaya, festival ini ingin menyalakan kembali semangat kemanusiaan melalui sinema atau sebuah ruang tempat cahaya dan dialog masih mungkin tumbuh.
Festival yang digelar pada 8–12 Oktober 2025 ini berlangsung di empat titik Jakarta: Taman Ismail Marzuki, Epicentrum XXI, Metropole XXI, dan Universitas Bina Nusantara (Binus). Tahun ini, Madani Fest juga menjadi bagian dari perayaan Jakarta 500 Tahun, dengan semangat empat matra yang menjadi cirinya: Living Islam, Civic, Civilization, dan City.
Sutradara Garin Nugroho, yang karyanya menjadi fokus retrospektif tahun ini, melalui pesan video menyampaikan makna tema tersebut dengan sederhana namun kuat. “Sudah selayaknya kita memberi terang pada kehidupan dengan film-film yang dipilih dalam festival ini,” ujar Garin.
Baca Juga: Soal Seni dan Kebudayaan, Ini Pesan Garin Nugroho untuk Presiden Prabowo
Ia menambahkan, film selalu punya daya untuk menyinari sisi-sisi gelap kehidupan manusia. Sejumlah karyanya seperti Mata Tertutup, Serambi, Rindu Kami Padamu, Tepuk Tangan, dan film terbarunya Nyanyi Sunyi Dalam Rantang akan ditayangkan sepanjang festival.
Menurut Direktur Festival Ahmad Rifki, Madani Fest 2025 menghadirkan 95 film dari 24 negara, dengan 15 film pendek finalis Madani Shorts Film Competition yang disaring dari 1.711 karya. “Kami ingin Madani Fest menjadi ruang pertemuan lintas budaya dan iman melalui film. Tahun ini lebih dari sekadar tontonan, tapi juga ajakan untuk memahami dunia dengan empati,” tutur Rifki.
Tahun ini, kawasan Dataran Sahel, yang mencakup Burkina Faso, Senegal, Mali, dan Nigeria, dipilih sebagai Focus Country. Kurator Bunga Siagian dan Yuki Aditya menghadirkan lima film dari wilayah tersebut, menyoroti dinamika dekolonisasi serta akar peradaban Islam di Afrika Barat.
Baca Juga: Kamila Andini: Film Pendek Jadi Ruang Eksplorasi dan Harapan Baru Sineas Muda
“Sahel bukan sekadar lanskap politik atau sejarah. Ia juga ruang spiritual yang memperlihatkan bagaimana Islam tumbuh bersama budaya lokal,” ujar Yuki.
Selain pemutaran film, festival ini juga menggelar forum komunitas, kelas pakar, dan 15 pertunjukan lintas genre. Musisi Panji Sakti, grup Almamosca, pendakwah Habib Husein Ja’far Al Hadar, hingga komedian Malaysia Rizal van Geyzel turut hadir menghidupkan suasana.
Inayah Wahid, yang juga menjadi anggota dewan pengarah Madani, melihat festival ini sebagai gerakan kebudayaan yang terus berevolusi. “Madani Fest diharapkan bisa menjadi ruang budaya yang menginspirasi transformasi karena kita butuh perubahan kebudayaan yang masif. Gerakan kebudayaan harus membawa nilai-nilai keagungan manusia. Madani Fest adalah cahaya kecil yang menyatu dengan cahaya-cahaya lain, agar menjadi terang yang lebih besar,” ujarnya.
Senada dengan itu, Putut Widjanarko, Ketua Board Madani, menekankan bahwa Madani Fest kini bukan lagi sekadar agenda tahunan. “Ia sudah berkembang menjadi gerakan kultural. Sinema menjadi jangkar dialog dan perjumpaan,” katanya.
Sementara Ekky Imanjaya, Ketua Yayasan Madani, menyebut bahwa Madani Fest kini bergerak dalam dua payung besar: pemutaran film dan program IDEAS. “Yang terakhir ini adalah persemaian gagasan—tempat aktivasi nilai-nilai kewargaan, kekotaan, dan peradaban,” ujarnya.
Lewat Misykat, Madani Fest 2025 tak hanya menyalakan layar, tetapi juga hati. Ia hadir bukan sekadar festival film, melainkan ruang bernapas bagi masyarakat yang tengah mencari terang di antara kabar-kabar gelap dunia. Sebuah pengingat lembut bahwa di tengah kekerasan dan kehilangan, cahaya masih bisa ditemukan setidaknya lewat sinema.