Bagi banyak orang, keberhasilan terbesar dalam hidup sering diukur dari jabatan, kekayaan, atau besarnya bisnis yang dibangun. Namun, bagi Ir. Ciputra, Founder Ciputra Group, ada satu karunia yang ia anggap amat istimewa, yakni memiliki menantu-menantu yang hebat.
“Jika ditanya, apa hal yang saya syukuri dalam hidup, jawabannya akan panjang. Namun, ada rasa syukur yang begitu unik dan hingga sekarang masih membuat saya terpukau. Itu adalah kenyataan indah bahwa saya memiliki menantu-menantu yang hebat. Amat hebat,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life, karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Senin (21/7/2025).
Ia menyebut dua menantunya, Budiarsa Sastrawinata dan Harun, sebagai motor penting dalam membesarkan perusahaan. Dikatakan Ciputra, keduanya tak hanya sekadar menantu, melainkan rekan perjuangan yang bekerja dengan tulus dan penuh kesungguhan.
“Betapa luar biasanya Budiarsa dan Harun dalam membantu saya membesarkan perusahaan. Bahkan, kedua menantu saya itu bisa dikatakan sebagai motor yang sangat penting di perusahaan,” aku Ciputra.
Budiarsa sendiri bergabung dengan Jaya Group pada tahun 1981. Meski berstatus menantu, Ciputra tidak pernah memberinya keistimewaan. Ia menolak KKN. Bagi Ciputra, menantu yang bekerja di perusahaan tidak boleh mendapat perlakuan khusus. Budiarsa pun memulai kariernya dari nol, seperti karyawan baru lainnya.
“Sejak bekerja di perusahaan itu, saya biarkan Budiarsa tumbuh dari nol. Tidak ada keistimewaan,” tegas Ciputra.
Dijelaskan Ciputra, saat itu, Budiarsa ditugaskan di proyek Bintaro Jaya. Tugasnya sendiri terbilang berat, yakni membebaskan tanah dan mengawasi pembangunan kompleks hunian seluas 1.000 hektare. Setiap hari, ia berkeliling menggunakan motor, menembus jalanan Bintaro demi melancarkan proses pembebasan tanah. Namun, tak pernah sekalipun ia mengeluh.
“Ia bekerja dengan ulet tanpa mengeluh. Saya tahu pekerjaan ini berat, tapi ia tabah dan pantang menyerah. Pembawaannya yang periang membuatnya seperti tidak pernah susah,” kata Ciputra mengenangnya.
Karena sifatnya yang rajin dan easy going, Budiarsa juga diminta Ciputra untuk membantu PT CHI yang dipimpin oleh putri Ciputra, Rina. Dedikasi inilah yang kemudian melahirkan salah satu proyek raksasa Indonesia, yakni Bumi Serpong Damai (BSD). Budiarsa-lah yang memantik lahirnya kota mandiri ini.
“Nah, karena sifatnya yang rajin inilah kemudian Budiarsa menjadi orang penting di balik keberadaan Bumi Serpong Damai. Dialah yang memantik lahirnya proyek sangat besar ini,” beber Ciputra.
Lebih lanjut, Ciputra mengaku tidak tahu apakah dirinya memang sengaja menggembleng kedua menantu prianya hingga menjadi sehebat sekarang, atau mereka memang sudah memiliki karakter bercahaya sejak awal.
“Saya bahkan tidak tahu atau lupa, apakah saya dengan sengaja menggembleng mereka sehingga mereka bisa tumbuh begitu luar biasa. Mungkin mereka belajar dari saya. Tetapi saya harus mengatakan bahwa pada diri keduanya memang telah tersimpan karakter yang begitu bercahaya,” ujarnya.
Baca Juga: Berita dari Amerika yang Mengubah Citra Ciputra
Awal Mula Bumi Serpong Damai
Bagi Ciputra, salah satu rahasia sukses menjadi pengembang adalah menemukan lahan potensial. Pesan inilah yang selalu ia tanamkan kepada menantunya, Budiarsa Sastrawinata. Saat itu, meski tengah sibuk mengurus proyek Bintaro Jaya, Budiarsa tetap meluangkan waktu untuk berburu lahan baru. Baginya, setiap perjalanan kerja adalah kesempatan menemukan peluang besar.
“Saya katakan kepada Budiarsa bahwa saya sudah berhasil mengembangkan Pondok Indah seluas 500 hektare, dan Bintaro seluas 1.000 hektare. Namun, saya masih memiliki impian untuk membangun kota baru yang lebih besar dan mandiri,” kenang Ciputra.
Dikatakan Cuputra, sepertinya ucapannya itu menancap kuat di benak Budiarsa, hingga nalurinya terasah bak radar penangkap lahan potensial.
“Rupanya kalimat saya itu sangat memengaruhi Budiarsa, sehingga refleks dirinya seperti radar yang mengendus keberadaan lahan-lahan menarik,” tutur Ciputra.
Diceritakan Ciputra, pada 1983, ketika menjelajah wilayah Bintaro hingga Tangerang, ia mengatakan bahwa saat itu pandangan Budiarsa terpaku pada hamparan perkebunan karet yang luas. Perkebunan itu tampak terbengkalai.
Budiarsa mendekat dan menemukan papan nama rapuh bertuliskan PTP XI dengan alamat di Pecenongan. Tanpa menunda, ia pun melaporkan tentang penemuan lahan tersebut kepada dirinya.
“Dari tampilannya, ia tahu perkebunan itu sudah tidak aktif lagi alias terbengkalai begitu saja. Saat itu, Budiarsa berusaha mencari info tentang lahan tersebut. Dan, dapat. la melihat sebuah papan yang terpancang dalam kondisi jelek dan rapuh. Bahkan tulisan di papan itu sudah sangat buram. Namun, matanya masih bisa membaca tulisan di sana. Ada tulisan “PTP XI”. Juga tertera sebuah alamat di Pecenongan,” terang Ciputra.
Menurut Ciputra, saat itu naluri Budiarsa pun segera bergerak. Dan menurutnya, lahan ini sepertinya punya masa depan.
“Ia pun segera kembali dan menemui saya. Diceritakannya apa yang ia lihat. Saya segera memintanya untuk melacak informasi tentang lahan tersebut dan jika punya potensi dibebaskan, ya beli saja. Budiarsa segera melakukan perintah saya,” tutur Ciputra.
Dan, setelah ditelusuri, lahan perkebunan hampir 1.000 hektare itu sudah ditukar guling ke PT Supra Veritas, anak perusahaan Grup Sinar Mas milik Eka Tjipta Widjaja. Budiarsa pun mendatangi kantor mereka dan bertemu Rudy Maeloa, menantu Eka Tjipta. Awalnya, Rudy tidak tahu siapa Budiarsa. Namun, setelah perbincangan mendalam, ia baru menyadari bahwa pria di depannya adalah menantu Ciputra.
Ternyata, Rudy pun memang sedang mencari jalan untuk bekerja sama dengan Ciputra. Grup Sinar Mas berkeinginan mengembangkan bisnis properti, namun belum berpengalaman. Rudy pun meminta Budiarsa mempertemukannya dengan sang maestro properti Indonesia itu.
“Bagai tumbu ketemu tutup. Hampir 1.000 hektare lahan sudah aman, tak perlu repot-repot membebaskan lagi. Kami sepakat bekerja sama,” ujar Ciputra mengenang pertemuan bersejarah itu.
Ciputra, yang mewakili Metropolitan Development, bekerja sama dengan Sinar Mas. Ia juga mengajak Liem Sioe Liong dari Salim Group untuk bergabung, mengingat kolaborasi mereka di Pondok Indah terbukti sukses.
Baca Juga: Kisah Ciputra: Ubah Cengkareng yang Terpencil Jadi Kawasan Properti Idaman
Mimpi di Tengah Gerhana Matahari
Suatu hari, Ciputra dan Rudy meninjau lahan tersebut di Serpong. Kebetulan saat itu terjadi gerhana matahari. Mereka duduk berselonjor di bawah pohon, menikmati suasana redup yang menenangkan.
“Saya bahkan berbaring. Saat gerhana datang dan suasana menjadi gelap, tiba-tiba di antara kantuk yang hebat, saya seperti menatap sebuah kawasan yang sangat indah. Begitu indah. Lalu, tahu-tahu gerhana berakhir dan saya terjaga. Saya mengucek-ngucek mata dan menatap Rudy,” kisah Ciputra sambil tersenyum.
“Hei, saya bermimpi. Mimpi yang indah. Tempat ini akan menjadi kota yang indah…”
Bagi Ciputra, mimpi saat gerhana itu bukan sekadar bunga tidur. Keyakinannya tumbuh bahwa lahan tersebut akan menjadi kota masa depan.
“Saya tahu mimpi adalah bunga tidur yang tak perlu dipikirkan. Tapi entah kenapa pada hari itu saya begitu yakin BSD memang memiliki masa depan cerah. Kami tak membuang waktu untuk mematangkan proyek,” beber Ciputra.
Tidak menunggu lama, pada 16 Januari 1984, PT Bumi Serpong Damai resmi didirikan. Ciputra ditunjuk sebagai komisaris sekaligus pelaksana proyek. Segala proses perencanaan dan pembangunan dipercayakan sepenuhnya kepadanya oleh Sinar Mas dan Salim Group.
Karena besarnya proyek ini, Ciputra meminta Budiarsa keluar dari Jaya Group dan fokus penuh di BSD. Saat itu, kantor BSD masih menyewa sebuah ruangan kecil di Gedung Jaya. Karyawan pun hanya beberapa orang, yakni Budiarsa, staf keuangan, kasir dari Sinar Mas, dan seorang office boy.
Namun siapa sangka, dari ruang kecil dan tim sederhana itulah lahir salah satu proyek kota mandiri terbesar di Asia Tenggara, yakni BSD City. Kota impian yang berawal dari perjalanan menantu yang tekun, mimpi sang visioner saat gerhana, serta kolaborasi tiga raksasa bisnis Indonesia.
Baca Juga: Kisah di Balik Citra Garden: Saat Ciputra Mengubah Ladang Terlantar Menjadi Kota