Sebagai salah satu maestro properti Indonesia, Ir. Ciputra memiliki pandangan jauh ke depan yang tak semua orang mampu menirunya. Salah satu kisah visioner Ciputra sendiri lahir saat mengawali proyek pertama PT Ciputra Housing Indonesia (CHI), yakni membangun Citra Garden di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.
Dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Founder Ciputra Group itu mengisahkan bahwa di era 1970-an, dirinya memiliki kebiasaan yang membedakannya dari para developer lain.
Menurutnya, di sela kesibukan sehari-harinya, ia rutin berkeliling Jakarta dan sekitarnya untuk mencari lahan-lahan potensial. Hingga suatu hari, pandangannya terpaku pada hamparan tanah kosong dan ladang terlantar di Kalideres, Cengkareng.
Bagi banyak orang, lahan itu sama sekali tidak menarik. Sepi, jauh dari pusat kota, akses pun masih berupa jalanan tanah terjal yang akan becek saat hujan. Namun bagi Ciputra, ia melihat masa depan di balik tanah kosong itu.
“Membangun itu tidak untuk hari ini saja. Pandanglah jauh ke depan dan pikirkan apa yang akan terjadi di masa datang. Itulah yang namanya visioner,” tutur Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Jumat(18/7/2025).
Kekuatan intuisi dan jejaringnya membisikkan peluang besar. Ciputra sudah mendengar rencana Pemda DKI Jakarta untuk memindahkan bandara utama dari Halim Perdanakusuma ke Cengkareng. Bagi dia, pembangunan bandara akan menjadi pintu masuk perkembangan kawasan secara masif.
Ia pun meyakini satu prinsip penting dalam memilih lokasi properti, yakni jika sebuah kota hanya memiliki terminal bus sebagai pusat transportasi tercanggih, bangunlah properti di dekat itu.
Kemudian, jika memiliki stasiun kereta api, bangunlah di dekat itu. Jika ada bandara, buatlah kompleks pemukiman tak jauh dari bandara. Karena, kata Ciputra, orang-orang akan berebut tinggal di lokasi yang memiliki akses mudah menuju sarana transportasi tercanggih.
“Saya mendapatkan keyakinan kuat, jika saya membangun perumahan di sana, kelak rumah-rumah itu akan jadi rebutan. Itulah lahan yang menjadi cikal bakal proyek pertama PT CHI,” ungkap CIputra.
Keyakinan itu pun akhirnya menuntunnya untuk terus mendatangi lahan Cengkareng bersama timnya, Ako dan Henk. Meski keduanya sempat ragu dan merasa tanah berlumpur itu mustahil berubah menjadi kawasan perumahan yang ramai peminat, Ciputra tetap teguh dengan visinya. Baginya, seorang pengusaha sejati tidak membangun hanya untuk hari ini, melainkan menyiapkan masa depan.
“Saya selalu mengatakan pada mereka, bahwasanya membangun itu tidak untuk hari ini saja. Pandanglah jauh ke depan dan pikirkan apa yang akan terjadi di masa datang. Itulah yang namanya visioner,” tegas Ciputra.
Visi yang Mengubah Sunyi Menjadi Kehidupan
Tidak semua orang sanggup melihat peluang di balik kesunyian. Namun, itulah keistimewaan Ciputra. Ketika orang lain memandang lahan tandus di Cengkareng sebagai tempat “jin buang anak”, ia justru melihatnya sebagai masa depan yang menunggu untuk dibangkitkan.
Menurut Ciputra, lahan itu hanyalah ladang kosong tanpa aktivitas berarti. Nyaris tak ada developer yang meliriknya, karena dianggap jauh dari manapun dan tidak menjanjikan keuntungan. Namun bagi Ciputra, informasi tentang rencana pembangunan bandara di Cengkareng menggetarkan insting bisnisnya. Ia membayangkan bagaimana kawasan itu akan berubah total ketika landasan udara telah berdiri.
“Saya sungguh merasakan getaran potensi yang luar biasa di kawasan ini. Jika landasan udara Cengkareng sudah dibangun kelak, betapa menariknya kompleks perumahan yang akan saya bangun. Jarak ke bandara benar-benar dekat, dan untuk mencapainya pun mudah karena pintu kompleks langsung bersentuhan dengan jalan raya menuju bandara yang akan dibangun, sesuai dengan rencana tata kota,” ungkapnya.
Ciputra pun tidak membuang waktu, saat itu juga ia segera menugaskan Rina dan Henk, dua orang kepercayaannya, untuk mengurus pembebasan tanah dan perizinan. Rina, yang kala itu belum pernah terjun langsung di lapangan, belajar menghadapi kerasnya birokrasi.
Ia harus sabar menunggu, mengantre seharian, dan bertemu berbagai pejabat tata kota. Sementara Henk, saudara sepupunya, turun langsung menemui pemilik tanah, meski sempat merasa putus asa menghadapi proses panjang tersebut. Namun, Ciputra selalu hadir membakar semangat mereka.
“Kalian tahu, jantung dunia developer adalah kecerdasan kita mengendus lahan potensial dan ketajaman visi kita membayangkan potensi di depan. Ini mungkin terasa membosankan. Tapi bayangkanlah bertahun-tahun kelak,” papar Ciputra.
“Hunian yang kita bangun akan dipadati penduduk. Kawasan yang semula sunyi senyap tak berdenyut akan ramai dan hidup. Dan kita mungkin bisa mengembangkan berbagai hal. Tempat hiburan. Pusat perbelanjaan. Kompleks-kompleks tambahan,” sambungnya.
Ketika Mendidik Anak Menjadi Pemimpin Sama Sulitnya dengan Membangun Kota
Ciputra bukan hanya dikenal sebagai developer visioner, tetapi juga sebagai ayah yang berusaha keras mendidik anak-anaknya menjadi pemimpin sejati. Dalam membangun Citra Garden, ada pelajaran mendalam tentang kepemimpinan, visi jangka panjang, dan kesabaran yang luar biasa.
“Memimpin anak sendiri tidak sama dengan memimpin orang lain yang sengaja melamar pekerjaan di perusahaan saya. Pada anak sendiri, saya harus menyuntikkan sense of belonging dan tekad juang lebih kuat. Kenapa? Karena akan mudah bagi mereka untuk menyerah atau pasif. Ah, ayah saya kan Ciputra. Semua pasti beres di tangan Ciputra. Bisa-bisa itu yang ada di pikiran mereka,” tukas Ciputra.
Dalam proses pembebasan tanah Citra Garden, Ciputra memilih untuk bersabar. Ia memahami benar permainan harga tanah di Jakarta.
“Kami tidak mau memulai pembangunan sebelum luas lahan yang kami inginkan tercapai. Karena begitu kami menancapkan billboard proyek dan orang tahu Ciputra akan membangun kawasan itu, maka harga tanah sekitarnya akan naik karena disergap spekulan. Kami akan sulit mendapatkan tanah berikutnya. Jadi, tanah dulu semua dikuasai, baru mulai membangun. Harus bersabar,” ungkapnya.
Kemudian, kurang dari dua tahun, 50 hektare tanah berhasil dikuasai. Namun, tantangan berikutnya menanti. Lahan di Cengkareng itu hanya seluas 50 hektare, jauh lebih kecil dibanding proyek Pondok Indah yang mencapai 450 hektare atau Bintaro yang lebih dari 500 hektare. Ditambah lagi, Cengkareng kala itu dianggap daerah ‘jin buang anak’.
Tetapi justru di situlah ketajaman visi Ciputra berbicara. Dalam rapat-rapat intens bersama anak-anaknya, ia memancing pemikiran mereka untuk menajamkan konsep dan visi.
“Kami harus menciptakan sesuatu yang pas dengan pasar yang dituju dan harus memiliki daya tarik. Saya memimpin rapat tim kecil ini. Saya ingin memancing pemikiran Budiarsa, Rina, dan Henk untuk belajar membuat konsep dan menajamkan visi,” tuturnya.
Akhirnya, mereka menemukan segmen pasar yang sangat menjanjikan, yakni keluarga muda. Pasangan-pasangan baru menikah yang datang ke Jakarta untuk membangun hidup, memiliki pendapatan terbatas, dan mendambakan rumah pertama yang layak huni. Ciputra melihat peluang itu.
“Kami sangat yakin bahwa pasar itu ada dan sangat banyak. Keluarga muda akan mencari rumah yang sanggup mereka bayar karena keuangan mereka belum baik,” terangnya.
Dengan harga tanah di Cengkareng yang masih murah, ia membangun rumah mungil dengan luas tanah 90–120 meter persegi, desain baik, bangunan kokoh, dan fungsi ruang yang maksimal, semua dengan harga terjangkau.
“Mungkin mereka terpaksa menerima posisi tempat yang dianggap terpencil seperti Cengkareng, namun setidaknya mereka puas dengan bangunan yang kami buat,” ujar Ciputra.
Nah Growthmates, kisah pembangunan Citra Garden ini bukan hanya tentang properti. Ini tentang visi yang jauh melampaui zamannya, kesabaran menunggu waktu yang tepat, dan keinginan seorang ayah untuk menjadikan anak-anaknya pemimpin yang berdaya cipta.
“Di atas kertas tampaknya ini proyek yang mudah bagi saya. Tapi jangan lupa, saya hanya jadi mentor, yang menjalankan anak saya,” tegas Ciputra.
Dan hari ini, kawasan yang dulu sunyi itu telah menjelma menjadi Citra Garden, hunian hijau yang ramai, hidup, dan terus berkembang. Bukti bahwa ketajaman visi, ketekunan, dan keyakinan tak tergoyahkan adalah pondasi sejati di balik sebuah nama besar: Ciputra.
“Jantung dunia developer adalah kecerdasan kita mengendus lahan potensial dan ketajaman visi kita membayangkan potensi di depan,” tandas Ciputra.
Baca Juga: Sekolah Kehidupan ala Ciputra: Membesarkan Anak Lewat Perjuangan, Bukan Pemberian