Ciputra, sosok maestro properti nasional yang dikenal sebagai pendiri Grup Ciputra, ternyata pernah mengawali langkahnya dengan penuh perjuangan dan kesederhanaan. Jauh sebelum namanya melejit di dunia bisnis dan pembangunan, masa remajanya diwarnai kisah inspiratif, dari tinggal di kamar kos sederhana di Manado, menjadi atlet lari, hingga menginjakkan kaki di Istana Merdeka sebagai kontingen PON.

Setelah lulus SMP, Ciputra muda memutuskan untuk hijrah ke Manado demi melanjutkan pendidikan SMA. Di kota itu, ia tidak memiliki keluarga dekat. Meski ada beberapa kerabat, kedekatan emosional tidak cukup membuatnya nyaman tinggal bersama. Maka ia memilih untuk hidup mandiri di sebuah kamar kos kecil di pusat kota.

Baca Juga: Jejak Perjuangan Masa Muda Ir. Ciputra: Dari Gorontalo Menuju Jawa Menembus Batas Nasib

“Mama juga setuju. Kami memang tidak ingin merepotkan siapa pun,” ungkapnya dalam kisah yang dituturkannya dalam bukunya yang berjudul The Entrepreneur.

Tahun 1950, Manado menjadi lembaran baru bagi Ciputra. Ia diterima di SMA Negeri Manado, sebuah sekolah besar yang dipenuhi pelajar dari kalangan mampu. Namun, itu tidak mengurangi kepercayaan dirinya. Pengalaman hidup di Gorontalo telah membentuk mentalnya.

Bahkan, dalam waktu singkat, ia dikenal karena kemahirannya di bidang matematika pelajaran yang menjadi kelebihannya sepanjang masa sekolah.

Baca Juga: Gorontalo dan Perjalanan Ciputra Menemukan Diri Hingga Merengkuh Cita-cita Menjadi Arsitektur

Setahun kemudian, ia pindah ke SMA Katolik Don Bosco untuk menimba pengalaman baru. Sekolah itu terkenal akan kedisiplinan tinggi yang diterapkan oleh para frater Belanda.

“Untunglah saya tidak pernah sekali pun mendapat hukuman. Salah satu frater bahkan pernah menyarankan saya jadi profesor matematika,” kenangnya.

Tak hanya piawai dalam pelajaran, Ciputra juga unggul dalam olahraga, khususnya lari. Ia kerap berlatih dan bertanding dengan sahabatnya, Alex Kandau, menyusuri lereng perbukitan dan pantai-pantai indah Manado. Keahliannya dalam berlari membawanya pada sebuah kesempatan besar: mewakili Sulawesi Utara dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 di Jakarta pada tahun 1951.

Baca Juga: Ciputra: Prestasi adalah Sumber Harga Diri

“Saya melompat-lompat kegirangan saat tahu akan ke Jakarta,” kenangnya penuh semangat.

Perjalanan pun ditempuh menggunakan kapal laut selama tujuh hari. Mereka tidur di dek kapal dan makan seadanya. Tapi semua itu sebanding dengan kegembiraan yang menanti di Ibu Kota.

Tiba di Jakarta, matanya terpaku. Ia takjub menyaksikan gedung-gedung tinggi, hiruk-pikuk kota, dan Stadion Ikada tempat PON digelar. Bersama Alex, ia tampil habis-habisan meski akhirnya hanya mencapai babak final. Ia mengakui, para pelari dari Jawa lebih tangguh, namun pengalaman itu sendiri sudah merupakan kemenangan.

Baca Juga: Ketika Kelamnya Hidup Ubah Ciputra Remaja Jadi Dewasa

Tak hanya bertanding, para kontingen juga mendapat undangan istimewa untuk berkunjung ke Istana Merdeka dan bertemu langsung dengan Presiden Soekarno.

“Saya sampai susah bicara, saking senangnya,” kata Ciputra, menggambarkan momen emosional tersebut. Ia bahkan masih ingat sensasi mencicipi Coca-Cola untuk pertama kalinya malam itu.

Sepulang dari Jakarta, Ciputra tak pulang dengan rasa kalah. Justru, ia merasa hidupnya telah melangkah jauh. Ia percaya bahwa prestasi bisa menjadi pintu menuju masa depan.

Baca Juga: Kisah Ciputra Tinggalkan Kebun demi Bersekolah

“Itu menyiratkan sinyal bahwa saya bisa melompat jauh karena prestasi. Dan itu kian mengobarkan semangat saya,” ujarnya.

Kisah masa muda Ciputra menjadi bukti bahwa tekad, kerja keras, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman bisa membuka peluang besar, bahkan di tengah keterbatasan. Jejaknya dari Parigi, Gorontalo, ke Manado hingga Jakarta bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan menuju impian yang akhirnya ia wujudkan dengan megah.