Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza  turut menyoroti fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) yang belakangan  marak dilakukan sejumlah kepala daerah, salah satunya adalah, Pati, Jawa Tengah yang berbuntut unjuk rasa besar-besaran beberapa hari lalu. 

Handi melihat fenomena kaikan pajak yang tak masuk akal ini sebagai sebuah trik atau jalan pintas untuk mengerek Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri ini mengatakan, upaya mendongkrak PAD lewat kenaikan pajak dilakukan para kepala daerah lantaran adanya tuntutan kemandirian fiskal pasca-desentralisasi. PAD menjadi ukuran kemampuan fiskal daerah untuk membangun daerahnya

Baca Juga: Menteri Tito Singgung Kepentingan Politik Dibalik Desakan Pemakzulan Bupati Sudewo

“Jangan sampai menaikkan PBB-P2 sebagai jalan pintas kepala daerah meningkatkan PAD. Terjadinya gelombang kenaikan PBB-P2 di sejumlah daerah utamanya didorong oleh kebutuhan mendongkrak PAD," kata Handi kepada wartawan Jumat (15/8/2025). 

Tak hanya kebutuhan mengatrol PAD, faktor lain yang melatarbelakangi kenaikan pajak lanjut Handi lantaran perlambatan transfer pusat, berkurangnya dana bagi hasil sumber daya alam (DBH-SDA), dan stagnasi retribusi yang membuat target pendapatan daerah dalam APBD sulit tercapai. 

“Akibatnya, banyak daerah memilih jalur instan dengan menaikkan tarif atau memperluas basis PBB-P2 ketimbang membangun sumber penerimaan baru yang perlu waktu dan proses,” ujarnya.

Handi menjelaskan bahwa penentuan PBB-P2 didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dasar regulasi penentuan NJOP adalah Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). 

“Celah regulasi ini dimanfaatkan oleh kepala Daerah untuk menentukan NJOPnya sendiri tanpa berkonsultasi dengan Kepala Daerah di atasnya atau Kementerian terkait dan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang menghimpit masyarakat,” kata dia. 

Risiko Kenaikan Pajak

Menurut Hadi kenaikan pajak yang dilakukan secara mendadak tanpa sosialisasi yang memadai jelas membawa sejumlah efek, salah satunya adalah tax shock dimana efek kejut ini dapat berimbas pada daya beli yang merosot drastis. 

“Memaksakan kenaikan PBB-P2 secara drastis, berpotensi menciptakan efek kejut (tax shock) yang bisa memukul daya beli dan konsumsi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah bawah yang memang sudah mengalami penurunan secara signifikan,” paparnya.

Tak hanya itu, dampak lain dari kenaikan pajak adalah terjadinya gejolak sosial sebagaimana yang terjadi di Pati, dimana ribuan warga turun ke jalan menggelar aksi  massa besar-besaran yang berujung kericuhan. Adapun aksi massa itu menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatanya. 

Baca Juga: Gerindra Belum Bahas Sanksi Buat Bupati Sudewo

“Risiko yang lebih serius adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah ketika pajak naik tanpa transparansi penggunaan, yang pada akhirnya menurunkan kepatuhan pajak secara sistemik dan mempersulit target pendapatan di masa depan. Akibatnya para Wajib Pajak (WP) yang sudah memiliki tingkat kepatuhan akan kembali memudar,” tuntasnya.