Ekonomi Indonesia berhasil tumbuh sebesar 5,11 persen di kuartal pertama tahun 2024. Hingga akhir tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), Febrio Kacaribu, menekankan bahwa target tersebut harus dijaga dengan berbagai strategi. Salah satunya adalah mengubah industri di Indonesia dari yang low valuaded menjadi high valuaded melalui hilirisasi.
Baca Juga: Jokowi dan Menteri Bidang Ekonomi Mulai Bahas Bea Masuk Impor 200 Persen untuk Produk China
"Indonesia perlu melakukan transformasi industri manufaktur dari low valuaded menjadi high valuaded. Yang sudah di depan mata adalah tembaga. Selama paling tidak 5 tahun ini, eskpor tembaga datangnya dari konsentrat saja dengan nilai paling tinggi sekitar US$9 miliar setahun," terangnya dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024 yang digelar di Jakarta, belum lama ini.
Dia menjelaskan, dengan hilirisasi, ekspor konsentrat tembaga di tahun 2025 diharapkan sudah dalam bentuk katoda. Ekspor katoda bernilai dua kali lipat dibandingkan hanya mengekspor konsentrat. Selain mendorong hilirasi, berbagai strategi juga disiapkan pemerintah, yakni dengan meningkatkan investasi, penyerapan tenaga kerja, pengurangan emisi, serta efisiensi APBN.
Febrio menekankan, Indonesia perlu menjaga pertumbuhan ekonomi 6-8% per tahun untuk mencapai target Indonesia Emas 2045: menjadi negara maju.
Sementara itu, Wakil Direktur INDEF, Eko Listianto, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2024 hanya 4,8%. "INDEF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya 4,8% dan belum kami revisi karena tanda-tanda triwulan pertama saja hanya 5,11%. Salah satu yang paling bermasalah di sektor riil menurut saya adalah daya beli," tegasnya.
Dia menerangkan, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I tahun ini sebesar 41,28%. Namun sayangnya, sebagian besar dari konsumsi tersebut didorong oleh belanja pemerintah.
"Konsumsi rumah tangga berkontribusi 41%, tapi sesungguhnya yang terjadi ialah boosting dari government consumption sebesar 19,90%. Konsumsi pemerintah hampir 20% itu belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Belanja tertinggi biasanya hanya 10% atau 8%, tiba-tiba 20%; dua kali lipat," ujarnya.
Oleh karena itu, INDEF berharap agar pemerintah melakukan akselerasi peningkatan belanja masyarakat.