Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,04% pada kuartal III-2025 belum mampu menjawab tantangan mendasar di sektor pangan dan pertanian. Meski secara makro menunjukkan stabilitas, lembaga riset ekonomi ini menilai pertumbuhan tersebut masih menghadapi ketimpangan sektoral yang menghambat pemerataan kesejahteraan.
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra P. G. Talattov, menyoroti perlambatan kinerja sektor pertanian yang justru menjadi salah satu penopang utama ekonomi nasional. Ia menjelaskan, meski pertumbuhan sektor ini meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya dan tercatat tumbuh 4,93%, angka tersebut masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Baca Juga: INDEF: Hilirisasi Sawit Bisa Topang Pertumbuhan Ekonomi 8%
“Secara historis, tren pertumbuhan sektor pertanian terus menurun dalam 15 tahun terakhir. Bahkan, laju penurunannya lebih tajam dibandingkan pertumbuhan ekonomi total,” ujar Abra dalam diskusi publik INDEF bertajuk Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III-2025, Kamis (6/11/2025).
Abra menilai, perlambatan tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih berada dalam tekanan struktural. Padahal, sektor ini bukan hanya kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga menyerap tenaga kerja paling banyak serta menjadi tumpuan kesejahteraan di pedesaan.
“Risiko perlambatan pertanian berpotensi menghambat pencapaian target pertumbuhan nasional,” tegasnya.
Ia menambahkan, kinerja subsektor tanaman pangan yang berperan besar dalam ketahanan pangan nasional memang tumbuh sekitar 10% di kuartal ketiga. Namun, pertumbuhan tersebut dinilai masih rapuh karena dipengaruhi faktor eksternal seperti iklim, produktivitas yang belum optimal, serta ketersediaan input produksi.
Baca Juga: INDEF Ungkap Pentingnya Penguatan Sektor Sawit demi Stabilitas Ekonomi Indonesia
“Meski ada kebijakan pemangkasan harga pupuk hingga 20%, dampaknya terhadap peningkatan produktivitas masih belum terasa signifikan,” jelasnya.
Selain itu, INDEF juga menyoroti sisi pembiayaan yang lemah di sektor pertanian. Hingga September 2025, pertumbuhan kredit pertanian hanya mencapai 5,59%, jauh di bawah pertumbuhan total kredit perbankan nasional sebesar 7,7%.
“Meskipun kebijakan moneter sudah longgar dan Bank Indonesia menyiapkan insentif likuiditas makroprudensial, penyaluran kredit ke sektor pertanian belum menunjukkan perbaikan berarti,” lanjut Abra.
Dari sisi fiskal, realisasi anggaran ketahanan pangan juga belum optimal. Dari total pagu Rp144,6 triliun, baru sekitar Rp81,2 triliun yang terserap hingga akhir September, atau sekitar 56%. Abra menilai percepatan belanja pemerintah menjadi faktor krusial untuk mendorong pertumbuhan di kuartal terakhir tahun ini.
Baca Juga: Perekonomian Indonesia tetap Positif, Pewaralaba Kuliner Optimis dalam Berekspansi
“Pertumbuhan sektor pertanian di kuartal IV sangat bergantung pada seberapa cepat pemerintah bisa menyerap sisa 44% anggaran tersebut,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa perlambatan pertanian tidak bisa dibiarkan menjadi pola business as usual. Menurutnya, perlu ada terobosan kebijakan agar program-program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar menjadi stimulus bagi petani dan produksi pangan nasional.
“Dengan anggaran yang besar, program seperti MBG seharusnya bisa menumbuhkan investasi di pertanian. Namun sampai saat ini, dampaknya belum sesuai harapan,” terangnya..
Paparan INDEF menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04% belum sepenuhnya mencerminkan perbaikan mendasar dalam perekonomian nasional. Ketimpangan antar sektor, terutama antara industri dan pertanian, menjadi tantangan serius yang harus segera dijawab agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berhenti pada angka, tetapi juga menyentuh kualitas dan keberlanjutan.