Kebijakan perdagangan proteksionis makin marak di berbagai negara, terutama di tengah tren deglobalisasi. Namun, Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terperangkap dalam tren ini karena tren ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Ketua Dewan Pembina Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto Patunru, menekankan, pandemi Covid-19 telah membuktikan pentingnya keterhubungan antarnegara dalam mendukung kesejahteraan global. Dia menekankan, kebijakan proteksionis hanya akan memperlambat tercapainya kesejahteraan masyarakat.

 Baca Juga: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan

"Pemerintah memang mempertimbangkan kebijakan proteksionis pada sektor tertentu untuk melindungi industri dalam negeri, seperti produk baja dan otomotif. Namun, kebijakan ini bisa berisiko menghambat daya saing dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang," tegasnya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (25/12/2024).

Ari melanjutkan, Indonesia perlu menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam menaati perjanjian dagang internasional. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah penghapusan hambatan non-tarif dan restriksi dalam perdagangan internasional. Dalam konteks ketahanan pangan, komoditas yang sering terkena dampak dari hambatan non-tarif adalah beras. Hambatan ini berkontribusi pada kenaikan harga beras yang signifikan, memengaruhi asupan kalori masyarakat karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Fenomena deglobalisasi makin nyata dengan munculnya kebijakan proteksionisme di berbagai negara. Amerika Serikat, misalnya, memberlakukan tarif tinggi pada semikonduktor, sebuah komoditas penting bagi industri dan teknologi digital. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi dalam negeri, tetapi juga stabilitas perdagangan global. Kebijakan proteksionis ini diikuti oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang mulai melirik kebijakan serupa untuk melindungi industri dalam negeri.

Langkah Amerika Serikat memberlakukan tarif tinggi pada semikonduktor dan produk teknologi lainnya untuk mendukung produksi dalam negeri ini dinilai tidak hanya mengurangi akses pasar bagi produk asing, tetapi juga memengaruhi stabilitas rantai pasok global. Di sisi lain, Eropa memberlakukan kebijakan pembatasan impor pada sektor pertanian dan energi untuk mendukung petani lokal dan meningkatkan ketahanan energi. Tren ini juga memengaruhi Indonesia.

"Di tengah tantangan deglobalisasi, Indonesia membutuhkan kebijakan perdagangan yang strategis, tangguh, dan berbasis bukti. Pengelolaan perdagangan yang baik berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," tambah Arianto.

Proses perumusan kebijakan perlu dilakukan tidak hanya melindungi industri lokal, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan masyarakat. Inilah saatnya Indonesia memanfaatkan perdagangan untuk mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan

Studi komprehensif yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengenai dampak perdagangan terhadap berbagai aspek kesejahteraan manusia di Indonesia, dapat menjadi solusi yang signifikan bagi kebutuhan akan data dan wawasan empiris di sektor perdagangan. Studi-studi ini memberikan perspektif berbasis data untuk menilai dampak proteksionisme serta mengidentifikasi langkah-langkah strategis yang dapat diambil Indonesia untuk mendorong pertumbuhan melalui perdagangan.

Lima studi ini mengupas hubungan antara perdagangan dan kesejahteraan di Indonesia, termasuk dampaknya pada lingkungan, kemiskinan, kesetaraan gender di dunia kerja, kesehatan masyarakat, dan pasar tenaga kerja. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari studi ini antara lain bahwa kebijakan terkait perdagangan internasional perlu mempertimbangkann keberagaman karakteristik wilayah, mengingat wilayah dengan karakteristik yang berbeda akan mengalami dampak perdagangan internasional yang berbeda pula.

Penguatan sektor manufaktur juga perlu dipertimbangkan agar Indonesia dapat memperoleh manfaat optimal dari perdagangan internasional. Selain itu, pendidikan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan karena pendidikan yang baik dapat membantu Indonesia mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas pekerjaan melalui manfaat dari perdagangan internasional.

Dengan menindaklanjuti hasil dari studi-studi ini, Indonesia dapat menyeimbangkan kebutuhan proteksi industri lokal dengan keterbukaan pasar yang sehat, menghasilkan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada perlindungan pasar domestik, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.