Inklusivitas kesehatan menjadi fondasi penting dalam membangun sistem self-care yang berkelanjutan di Indonesia. Hal ini tercermin dalam temuan Health Inclusivity Index (HII) 2025 yang dikembangkan oleh The Economist Impact dengan dukungan Haleon Indonesia.
HII telah diterapkan di 40 negara untuk mengukur sejauh mana sebuah negara mampu memastikan masyarakat dapat mengakses serta memperoleh manfaat layanan kesehatan secara setara. Di Indonesia, indeks ini menjadi cerminan tantangan sekaligus peluang besar dalam memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Baca Juga: Haleon Indonesia Luncurkan Haleon Pain Management Institute dan Chatbot ARJUNA
Riset HII dikembangkan sejak 2022, bertepatan dengan berdirinya Haleon, dan pada 2025 memasuki edisi ketiga. Tahun ini, kajian diperluas melalui tujuh indikator utama yang tidak hanya mengukur akses layanan kesehatan, tetapi juga dampak ekonomi yang muncul dari peningkatan inklusivitas dan literasi kesehatan.
Temuan HII 2025 dipaparkan Haleon Indonesia dalam forum diskusi bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Literasi Kesehatan Rendah Picu Beban Biaya Lebih Tinggi
Corporate Affairs Lead Southeast Asia & Taiwan Haleon, Donny Wahyudi, menegaskan bahwa peningkatan inklusivitas kesehatan berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap efisiensi pengeluaran negara di sektor kesehatan.
“Upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi membutuhkan keterlibatan multisektor untuk mendorong penghematan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga: Unicharm dan IBI Tingkatkan Kesehatan Anak Lewat Edukasi Popok dan Posyandu di Bogor
Berdasarkan hasil HII, masyarakat Indonesia dengan tingkat literasi kesehatan rendah tercatat mengeluarkan biaya kesehatan 3–4 kali lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki pemahaman kesehatan yang baik. Perbandingan rata-rata pengeluaran mencapai sekitar Rp7 juta pada kelompok literasi rendah, sementara kelompok literasi lebih baik hanya sekitar Rp2,5 juta.
Direktur Produksi dan Distribusi Farmasi Kementerian Kesehatan RI, Dita Novianti Sugandi Argadiredja, menilai inklusivitas kesehatan sejalan dengan misi pemerintah yang mengedepankan prinsip no one left behind.
“Semua masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya. Prinsip inilah yang menjadi fondasi dalam menjelaskan arah pembangunan kesehatan di Indonesia,” katanya.
Kebingungan Masyarakat Masih Tinggi dalam Self-Care
Dari sisi akademik, Wahyu Septiono dari Departemen Kependudukan dan Biostatistika FKM UI mengungkapkan bahwa literasi kesehatan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari kebingungan masyarakat dalam menangani keluhan kesehatan ringan.
“Pada kasus demam atau batuk, misalnya, banyak yang langsung meminta antibiotik, padahal itu merupakan kesalahan pemahaman yang cukup serius,” ujarnya.
Secara ekonomi, peningkatan literasi kesehatan sebesar 25% diperkirakan dapat menghasilkan potensi penghematan hingga US$2,9 miliar, atau sekitar 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia.
Beban Besar Kesehatan Gigi dan Penyakit Kronis
HII 2025 juga menyoroti masalah kesehatan gigi dan mulut sebagai salah satu isu besar di Indonesia. Biaya perawatan gigi—termasuk karies—pada kelompok usia 12–65 tahun diperkirakan mencapai US$42 miliar.
Melalui peningkatan edukasi kesehatan gigi dan perluasan akses pencegahan, potensi kerugian akibat kerusakan gigi dapat ditekan hingga US$7,4 miliar. Bahkan, dengan memprioritaskan kelompok berpendapatan rendah, penghematan bisa mencapai US$12,8 miliar.
Baca Juga: Warisan Trauma Konflik dan Tantangan Kesehatan Mental di Timor Leste
Selain itu, kondisi kesehatan gusi yang buruk juga berkontribusi pada peningkatan risiko diabetes tipe 2, dengan estimasi biaya kesehatan hingga US$9 miliar dalam 10 tahun ke depan.
Tiga Pilar Pendukung Inklusivitas Kesehatan
HII 2025 merekomendasikan tiga faktor utama yang perlu diprioritaskan untuk memperkuat inklusivitas kesehatan di Indonesia, yaitu:
1. Penguatan literasi kesehatan, melalui integrasi edukasi kesehatan di sekolah, perluasan sekolah promosi kesehatan, serta peningkatan pelatihan tenaga kesehatan masyarakat.
2. Pembangunan jaringan petugas kesehatan yang kuat, khususnya di daerah terpencil, dengan memaksimalkan peran posyandu serta memperkuat kolaborasi lintas sektor.
3. Dukungan terhadap asuransi kesehatan nasional yang inklusif, dengan menjaga keberlanjutan implementasi JKN dan memperluas cakupan menuju layanan kesehatan universal.
Baca Juga: Srikandi dan YBM PLN UIP JBB Duet Tingkatkan Kesehatan Ibu dan Anak di Kecamatan Cilincing
Osteoporosis dan Peran Self-Care Berbasis Ilmiah
Meski Indonesia didominasi populasi usia produktif, osteoporosis tetap menjadi isu serius, terutama pada kelompok lanjut usia dan perempuan. Biaya yang ditimbulkan akibat kondisi ini diperkirakan mencapai US$2,1 miliar per tahun.
Haleon menilai edukasi kesehatan terkait pencegahan patah tulang, termasuk risiko keretakan panggul, menjadi bagian penting dari strategi penghematan kesehatan nasional.
Melalui berbagai inisiatif merek seperti Panadol, Polident, dan Sensodyne, Haleon menjalankan program nyata seperti Panadol Cekatan, Polident Balikin Senyum, serta kampanye edukasi Sensodyne yang berbasis riset ilmiah.
“Kualitas self-care menjadi kunci. Setiap program dan solusi yang kami hadirkan selalu berbasis ilmu pengetahuan dan bukti ilmiah, dengan standar kualitas internal yang sangat tinggi,” tutup Donny.
Dengan temuan ini, HII 2025 menegaskan bahwa peningkatan inklusivitas dan literasi kesehatan bukan hanya soal akses layanan, tetapi juga strategi penting untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat Indonesia.