Pengusaha kawakan Tanah Air, Ciputra mengaku dirinya sama sekali tak punya niatan untuk menjadi pedagang kendati nafas hidup keluarganya bersumber dari profesi ini, kakeknya, ayah dan ibu serta mayoritas keluarga besarnya adalah pedagang. Namun Ciputra sama sekali tak tertarik pada bidang itu, tak ada alasan yang pasti namun yang jelas ia tak tertarik.
“Saya sama sekali tak tertarik menekuni perkebunan atau berdagang hasil bumi seperti yang banyak dilakukan orang-orang Gorontalo,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Jumat (13/6/2025).
Baca Juga: Ciputra: Prestasi adalah Sumber Harga Diri
Sadar dirinya tak dikarunia bakat berdagang Ciputra rupanya menemukan sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Ia sadar bahwa di nadinya ada darah seni yang mengalir deras, itu adalah darah warisan sang ayah yang memang terkenal sebagai seorang seniman di kala itu.
Darah seni ini pula yang membuat Ciputra membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang arsitektur. Itu bukan cita-cita instan, ini adalah asa yang telah lama ia impikan. Sejak kecil di desa Bumbulan, Ciputra memang sudah tertarik mengamati berbagai bentuk bangunan, ada ketertarikan tersendiri.
“Bermalam-malam saya merenung dan akhirnya harus saya akui ada sebuah bidang yang sebetulnya sangat merasuk ke diri saya. Arsitek. Jika direnungkan, sebetulnya cita-cita itu tidak muncul saat saya remaja. Saya yakin itu telah mengendap di diri saya sejak duduk di Sekolah Dasar. Hanya saja, belum saya sadari,” ujarnya.
Ketertarikannya memperhatikan bangunan membuat Ciputra kecil mampu mengambil kesimpulan bahwa bentuk bangunan di Desa Bumbulan membosankan. Rupa rumah-rumah warga hanya itu-itu saja, sebuah bangunan kotak yang dilengkapi atap tak ada variasi lain dan mayoritas rumah warga nyaris seragam. Hal ini yang kemudian menggelitiknya dan memunculkan berbagai pertanyaan di kepalanya.
“Sering saat berjalan-jalan mengitari Desa Bumbulan, saya memperhatikan ragam bentuk bangunan rumah para tetangga. Tidak ada yang menarik. Membosankan. Bentuknya itu-itu saja. Rupanya pun begitu-begitu saja. Hanya kotak persegi dengan pembagian ruang yang nyaris sama di tiap rumah. Dan desain luar yang juga nyaris mirip. Ada teras dengan tiang kayu yang besar, tangga yang tak seberapa tinggi dan pagar teras. Tak ada variasi bentuk bangunan,” ujarnya.
“Di masa kecil itu sempat saya berpikir, kenapa orang-orang membuat bangunan yang membosankan. Mereka seharusnya bisa berkreasi dan membuatnya lebih menarik. Semua atap terbuat dari daun palem. Dinding hanya berupa deretan papan kayu jati, dan atap dari batang palem,” ujarnya.
Kendati protes terhadap bentuk bangunan yang monoton dan membosankan, namun Ciputra kagum terhadap fungsi rumah-rumah warga di Bumbulan. Walau terlihat simpel dan bersahaja, bangunan itu menyediakan ruang-ruang yang fungsional. Pas untuk kebutuhan gerak hidup sehari-hari
“Saya belajar banyak dari sana. Bangunan tak menarik, tapi berdaya fungsi tinggi,” ucapnya.
Keinginan menjadi artistik semakin menggebu di benaknya ketika memasuki masa remaja dan pindah ke Gorontalo. Disana mata Ciputra disajikan berbagai bentuk bangunan yang lebih variatif.
“Di Gorontalo, mata saya lebih terhibur dengan bangunan yang lebih variatif. Bangunan sekolah, gereja, perkantoran, atau rumah-rumah penduduk yang cukup mapan. Mata saya mulai melihat pemandangan bangunan yang lebih atraktif. Saya sangat menyukai itu,” ucapnya.
Pengalaman masa kecil serta keinginan kuat menjadi arsitektur itu yang kelak memengaruhi Ciputra mengarungi bisnis sebagai pengembang atau developer, membuat rumah dengan segala perhitungan yang matang demi kenyamanan konsumen.
“Saya memperhatikan bangunan-bangunan yang menarik dan mulai membayangkan stukturnya. Atau, saya juga mengkritisi bangunan-bangunan yang menurut saya berdesain buruk atau tidak efisien. Tentu saja saya mengkritisinya dalam hati,” katanya lagi.
***
Meski hasrat menjadi seorang arsitektur itu terus bergelora dalam dirinya, namun Ciputra sendiri sebetulnya minder mengakuinya. Baginya itu cita-cita yang terlampau muluk, itu adalah cita-cita yang berbeda sendiri dari kebanyakan anak remaja yang mayoritas ingin menjadi dokter, polisi atau tentara.
“Rasanya terlalu muluk. Arsitek. Mana ada anak remaja sebaya saya yang menyebutkan cita-cita itu,” ucapnya.
Kendati tak pernah mengutarakan cita-citanya secara langsung di depan keluarganya, namun keinginan menjadi arsitek terus menyala-nyala. Dia yakin lewat jalan ini ia bisa mengubah nasib dan mengangkat martabat keluarga keluar dari kemiskinan.
“Saya menyimpan impian untuk menjadi orang yang mampu keluar dari kemiskinan, dari keterbelakangan. Walau secara logika kemiskinan kami sudah menjadi alasan jelas saya akan kesulitan meraih apa yang saya impikan, namun hati saya berkeras,” tuturnya.
“Remaja petani yang berkubang dengan tanah di kebun seperti saya ini bukan tak mungkin akan menjadi orang yang mampu menciptakan kebanggaan. Kemiskinan bukan halangan. Walau tak terucap, keyakinan itu terus saya pelihara dalam hati dan pikiran,” tambahnya.
Keinginan menjadi seorang arsitek bukan hanya sekadar angan-angan, bagi Ciputra itu adalah mimpi yang wajib digenggam. Berbagai upaya dan kerja keras yang dilakukan akhirnya membuahkan hasil, cita-cita itu benar-benar digapai, ia menjadi kenyataan.
Sesudah saya di ITB, baru saya tahu gelar resmi adalah insinyur arsitek, bukan hanya arsitek,” kata Ciputra.
Berdialog dengan Diri Sendiri
Perjalan Ciputra menemukan cita-citanya menjadi arsitektur melalui proses yang lumayan panjang kendati cita-cita itu sudah secara alamiah tumbuh dibenaknya sejak ia masih kecil.
“Semasa di Gorontalo saya sering berdialog dengan diri sendiri. Saat berlari, saat merenung di dalam kamar, saat menjaga toko milik Cao Hie. Seperti ada mantera ajaib yang menggetarkan dan menundukkan saya untuk tekun di satu arah. Saya harus berjuang untuk bisa maju,” ucapnya.