Keamanan data di lingkungan perguruan tinggi menjadi sorotan dalam era digitalisasi pendidikan. Handy Noviyarto, M.T., CSCU, PMEC, memaparkan bahwa ada empat tantangan besar yang harus dihadapi institusi pendidikan dalam melindungi data akademik.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam salah satu panel diskusi di rangkaian acara IDFest 2025 di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Handy menjelaskan, sistem akademik digital menyimpan data sensitif mulai dari identitas mahasiswa, informasi keuangan, hingga riwayat kesehatan. Data dosen, staf, bahkan pihak ketiga seperti orang tua mahasiswa juga turut terekam dalam sistem. Semua informasi itu, katanya, rentan disalahgunakan jika tidak dilindungi dengan baik.
Baca Juga: Teknologi AI di Pendidikan Tinggi Perlu Diimbangi Perlindungan Privasi, Seperti Apa?
“Faktanya, kebocoran data di Indonesia masih sangat fantastis angkanya. Setiap menit selalu ada kasus baru. Karena itu, perguruan tinggi perlu benar-benar serius membangun perlindungan data,” ujar Handy.
Dalam paparannya, Handy merinci ada empat aspek yang menjadi tantangan besar dalam menjaga keamanan sistem akademik digital, yaitu:
Teknis
Infrastruktur keamanan harus diperkuat, termasuk sistem jaringan, kontrol akses, serta pemeliharaan perangkat seperti patching secara berkala.
Baca Juga: idFEST 2025: Berisiko Jadi Ancaman Baru, Dosen ITTS Tekankan Pentingnya Filter Keamanan pada AI
Prosedural
Universitas perlu memiliki kebijakan yang jelas mengenai hak akses, termasuk mekanisme otomatisasi keamanan, seperti sistem yang terkunci saat tidak digunakan.
Sumber Daya Manusia
Literasi digital dan kesadaran keamanan siber di kalangan civitas akademika masih rendah. Pelatihan rutin diperlukan agar semua pihak memahami pentingnya menjaga data.
Baca Juga: Perayaan 19 Tahun PANDI, Catat Prestasi 1,3 Juta Domain .id
Officer Khusus
Handy menekankan perlunya posisi profesional yang fokus pada perlindungan data. “Di industri, peran ini sedang banyak dicari. Kampus juga perlu menyiapkan officer khusus yang memahami keamanan data,” tegasnya.
Selain empat tantangan utama tersebut, salah satu dosen di Universitas Mercu Buana itu juga menyoroti pentingnya integrasi antara Security Information and Event Management (SIEM) dengan Cloud Security Posture Management (CSPM).
Baca Juga: PANDI Dorong Literasi dan Transformasi Digital di Indonesia
Menurutnya, integrasi ini dapat membantu perguruan tinggi membuat laporan insiden kebocoran data secara cepat, sesuai aturan yang mewajibkan laporan maksimal 72 jam setelah kejadian.
Selain itu, ia juga menekankan perlunya regulasi yang kuat dan investasi berkelanjutan, baik pada sisi teknologi maupun pengembangan sumber daya manusia. Tanpa itu, institusi pendidikan akan kesulitan menghadapi kompleksitas ancaman siber.
Handy menutup dengan ajakan untuk memperkuat literasi digital di kalangan mahasiswa, dosen, hingga masyarakat luas. Menurutnya, kesadaran individu menjadi benteng pertama dalam melindungi data pribadi.
“Data Anda adalah aset yang berharga. Lindungi seperti Anda melindungi diri sendiri,” tutupnya.