Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 mendatang menuai beragam reaksi. Namun, banyak elemen masyarakat menolak diberlakukannya kebijakan tersebut. Bahkan, sempat mencuat petisi penolakan kenaikan tarif PPN yang dinilai akan berdampak pada ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
Direktur Jenderal Pajak periode 2001-2006, Hadi Poernomo, turut buka suara menanggapi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Hadi menilai, menaikkan PPN bukan menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan pendapat negara.
Alih-alih menaikkan tarif PPN, Hadi mengusulkan pemerintah untuk menerapkan CCTV penerimaan negara atau sistem monitoring self-assessment sebagai alternatif penerimaan negara. Sistem ini diyakini lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara.
“PPN tidak wajib dinaikkan. Sumber keuangan untuk pengganti PPN, tentunya kita harus membuat yang namanya Sistem Monitoring Self Assessment yang mampu menguji SPT wajib bayar. Kalau hal ini terwujud, maka akan meningkatkan tax ratio serendah-rendahnya 1 persen, setinggi-tingginya antara 2 persen,” ujar Hadi Poernomo seperti Olenka kutip, Senin (16/9/2024).
“1 persen tax ratio nilainya itu adalah 1 persen kali 25 ribu triliun PDB kita, artinya nilai sama dengan 250 triliun. Sedangkan kenaikan PPN 2 persen itu senilai 2 kali 80 triliun sama dengan 160 triliun. Sehingga masih ada sisa,” tambahnya.