Anggaran bantuan sosial (bansos) terus meningkat setiap tahunnya. Namun, angka kemiskinannya tidak turun signifikan, persentasenya hanya 2,3% sejak tahun 2010. Hal ini diungkapkan langsung oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, angka kemiskinan hanya mencapai 25,9%, sedangkan di tahun 2022 hanya mencapai 26,36%.
"Jadi, bansos ini menurut saya tidak efektif, kenapa? selama dua belas tahun, angka kemiskinan turun 2,3% dari 2010 sampai dengan 2023," kata Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti dalam diskusi publik "Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres" di Hotel Manhattan, Kuningan, Jakarta Pusat, Senin (5/4/2024).
Baca Juga: Anies Singgung Politisasi Bansos, Timnas AMIN: Banyak Bansos Tanda Pemerintah Gagal Tekan Kemiskinan
Menurutnya, penurunan angka kemiskinan tidak sejalan dengan anggaran bansos yang semakin meningkat jelang pemilu.
Secara rinci, pada sejak era pemerintahan Jokowi yakni di 2014 dana bansos sebesar Rp484,1 triliun. Lalu, di 2015 menjadi sebesar Rp276,2 triliun, 2016 sebesar Rp215 triliun, 2017 sebesar Rp216,6 triliun, 2018 sebesar Rp293,8 triliun.
Kemudian di 2019 menjadi sebesar Rp308,4 triliun, 2020 sebesar Rp498 triliun, 2021 sebesar Rp468,2 triliun, 2022 sebesar Rp460,6 triliun, 2023 sebesar Rp439,1 triliun, serta di 2024 sebesar Rp496,8 triliun.
Dengan anggaran yang semakin besar tiap tahunnya, seharusnya semakin banyak penerima bansos. Namun, menurut Esther, hal itu tetap tiidak berpengaruh kepada angka kemiskinan.
"Angka kemiskinan hanya turun sekitar 2 persen. Jadi mau digelontor bansos atau tidak, tetap saja tidak ada penurunan signifikan atas angka kemiskinan," kata Esther.
Maka dari itu, dia menekankan bansos pada dasarnya merupakan jaring pengaman sosial (social safety net), bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan.
Baca Juga: Wapres Ma'ruf: Bansos Diberikan Tanpa Kewajiban Pilih Paslon Tertentu
Dia pun menilai, pemberian bansos harusnya berbentuk tunai yang diberikan langsung ke penerima tanpa perantara. Skema ini dinilai lebih efektif untuk mendorong daya beli masyarakat ketimbang memberikan dalam bentuk sembako. Apalagi jika teknis pembagian bansos berupa sembako tersebut menimbulkan kerumunan masyarakat yang justru menjadi tidak efektif.
"Saya berkesimpulan bansos ini bukan solusi jangka panjang, ini kebijakan populis get more voter. Dibandingkan ke negara lain harusnya sistematis jadi besarnya tidak hanya Rp 250 ribu, besarnya sesuai dengan living cost di daerah tersebut, setara UMR," pungkasnya.