Growthmates, banyak dari kita mungkin sudah akrab dengan istilah sandwich generation atau generasi yang berada di tengah, menopang kebutuhan orang tua sekaligus membangun masa depan untuk keluarga sendiri.
Namun bagi Rahne Putri, Clarity Coach, Holistic & Energy Facilitator, sekaligus Teman Jenius, istilah itu bukan sekadar teori, melainkan perjalanan nyata yang penuh dinamika, pelajaran, dan penyembuhan diri.
“Kalau finansial aman, mentalnya juga harus sehat. Itu yang paling penting, karena kalau mental nggak sehat, gimana bisa kerja dan menjalani hari-hari?,” ungkap Rahne saat menjadi narasumber di sesi podcast Jenius bertajuk ‘Money Language Season 2’, baru-baru ini.
Perjalanan Rahne sebagai bagian dari sandwich generation dimulai sejak merantau ke Jakarta 15 tahun lalu. Dengan gaji pertamanya, ia langsung memberikan sebagian besar kepada orang tuanya.
“Awalnya aku pikir semua orang tuh sama, ngasih gaji ke orang tua. Ternyata nggak, ada yang nggak juga. Itu baru aku tahu setelah di Jakarta. Tapi buatku, itu nafas aku, merantau dengan tekad kuat untuk membahagiakan orang tua,” kenangnya.
Namun, seiring waktu, kebutuhan pribadi mulai muncul, seperti skincare, traveling, hingga nonton konser. Di titik itulah Rahne belajar mengatur, meski tanpa aturan baku. Untungnya, kariernya berkembang, jabatan naik, tawaran pekerjaan tambahan datang, termasuk sebagai kreator konten.
“Kerja lebih banyak sama dengan uang lebih banyak, sama dengan banyak yang bisa aku bahagiakan. Itu jadi autopilot,” ujarnya.
Dipaparkan Rahne, istilah sandwich generation baru dikenalnya setelah bertahun-tahun berperan sebagai tulang punggung keluarga. Ia sadar, tidak semua orang memilih jalan yang sama, dan itu bukan berarti kurang berbakti.
“Dulu aku sempat mikir, kalau nggak ngasih ke orang tua, itu durhaka. Padahal banyak faktor, bahkan ada orang tua yang justru membebani anak dengan utang atau ekspektasi berlebih,” tuturnya.
Meski orang tuanya tergolong pengertian, Rahne tetap menghadapi dilema. Ia ingin membahagiakan mereka dengan cara besar, termasuk mewujudkan mimpi orang tuanya memiliki rumah.
“Orang tuaku arsitek, tapi nggak pernah punya rumah sendiri. Jadi aku merasa itu juga mimpiku. Kerjanya jadi ambil semua tawaran, sampai lupa ngukur kapasitas diri,” bebernya.
Baca Juga: Jenius Luncurkan Money Language, Wadah Edukasi Finansial dengan Topik Terkini
Bagi Rahne sendiri, uang selalu hadir dengan energi berat.
“Dulu aku melihat uang dengan ketakutan. Gak punya uang takut, punya uang juga takut. Setiap tanggal gajian malah pusing, padahal orang lain senang,” ujarnya.
Trauma finansial membuatnya selalu panik, yakni uang datang berarti segera habis untuk orang lain. Bahkan ketika sudah mencapai puncak karier sebagai CMO di sebuah startup dengan gaji besar, ketakutan itu tetap ada.
“Aku pikir, kalau sudah sampai tahap ini aku bakal tenang. Tapi, ternyata tetap nggak. Tetap takut, tetap pelit sama diri sendiri. Itu yang bikin aku akhirnya resign. Plot twist, ya,” tukasnya.
Proses panjang itu membawa Rahne pada pemahaman baru, yakni hidup adalah soal pilihan, bukan sekadar konsekuensi.
“Dulu aku selalu merasa terjebak di victim mentality. Tapi sekarang aku percaya, setiap pilihan membuka ribuan kemungkinan lain. Jangan takut memilih,” papar Rahne.
Ia juga belajar bahwa bakti kepada orang tua tidak selalu diwujudkan dalam bentuk materi besar.
“Ternyata yang mereka butuhkan sederhana, hanya telepon setiap hari. Aku pikir harus kasih rumah, ternyata mereka cuma ingin kedekatan,” ungkapnya.
Meski identitas sandwich generation sering dikaitkan dengan beban, Rahne memilih sudut pandang berbeda.
“Aku percaya, sebagai sandwich generation kita tetap bisa memilih kebahagiaan. Yang penting jangan mewariskan energi ketakutan kepada anak. Jangan sampai anak hanya mengenal kita sebagai orang tua yang sibuk kerja, padahal yang mereka butuhkan adalah kehadiran,” tandas Rahne.