Tahir pun lantas mengatakan, saat dirinya sedang benar-benar terpuruk, ia pun tak segan meluapkan semuanya kepada dan sang ibu, Lina Sindawaty, dan istrinya, Rosy Riady. Menurutnya, karena ketiga putrinya saat itu sedang kuliah di AS, dan putra bungsunya masih kecil, jadi sang istri punya banyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah kehidupannya.
“Saya mendapatkan kekuatan dari kedua wanita yang sangat penting dalam hidup saya ini. Mamah terus menyemangati saya. Ia mengatakan bahwa bisnis penting bagi kehidupan kita karena itu sumber pendapatan. Namun, bisnis tak seharusnya dibiarkan menghancurkan mentalitas manusia. Saya dinasehati agar tidak membiarkan diri hancur karena bisnis,” ungkap Tahir.
Sang ibu juga berkata kepada Tahir bahwa kekayaan tak akan bertahan selamanya. Tuhan hanya mempercayakan kekayaan kepada manusia, hanya sementara. Uang bisa hilang kapan saja, tanpa peringatan apapun. Dan setelah mendengar pesan sang ibu, Tahir pun lantas bangkit dan tak membiarkan dirinya hancur berlarut-larut.
“Kata-kata Mamah saat itu ada benarnya. Mamah pun mengingatkan saya agar tak serakah dan harus selalu bercermin dari sikap Almarhum Papah. Papah tidak pernah berambisi mengumpulkan kekayaan, dan dia tetap tenang sampai hari kematiannya. Saat itu Mamah benar-benar membuat saya semakin kuat,” beber Tahir.
Tak hanya sang ibu, Rosy Riady pun kata Tahir menyemangatinya dengan caranya sendiri. Dia selalu berdoa dengan tekun dan selalu mengajak Tahir untuk berdoa bersamanya.
“Rosy bahkan saat itu menenangkan saya dengan kalimat bahwa Tuhan akan memberikan jalan keluar bahkan untuk masalah yang paling rumit pun dalam hidup,” ujar Tahir.
Baca Juga: Relasi Dato Sri Tahir dengan Putra Mochtar Riady: Saya Tersandung dalam Ujian Mental yang Berat
Melihat kedua orang yang dicintainya begitu sayang dan mendukungnya dalam kondisi terpuruk sekalipun, raga Tahir pun terpecut untuk makin berusaha keras dalam bekerja. Terlebih saat itu, ia bekerja di perusahaan garmen milik mertuanya sendiri.
“Saya bekerja dari pagi hingga sore. Kadang-kadang saya bepergian ke luar negeri untuk urusan bisnis. Pabrik garmen Pak Mochtar kala itu mengekspor produk ke sejumlah negara,” tukas Tahir.
Tahir bilang, saat itu di pabrik garmen tersebut dirinya mempekerjakan seorang ekspatriat yang diberi posisi cukup penting di bawah manajemen yang ia pimpin. Namun, saat pekerja ekspatriat tersebut mengetahui bahwa Tahir adalah menantu Mochtar Riady, Tahir pun merasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
“Orang-orang di pabrik tidak menghormati saya. Mereka tidak menganggap penting untuk berbicara dengan saya. Mereka langsung menemui Pak Mochtar jika ada sesuatu hal di pabrik. Entah mengapa saya merasa terhina karena tidak dianggap penting oleh mereka, meski saya diberi kepercayaan oleh pak Mochtar untuk mewakilinya di pabrik,” beber Tahir.
Berdasarkan pengalaman itu, Tahir pun akhirnya belajar bahwa seseorang akan merasa dihargai jika dianggap penting.
“Hal itu mendorong saya untuk bangkit lagi,” pungkas Tahir.
Baca Juga: Pelajaran Dato Sri Tahir Soal Pasang Surut Bisnis: Tak Ada yang Dapat Kalahkan Kekuatan Ilahi