Sejumlah negara di dunia semakin agresif mendorong penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan emisi karbon dari sektor transportasi. Langkah ini menjadi bagian dari strategi global menuju transisi energi bersih dan pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Seperti dikutip dari Energy Information Administration (EIA), Amerika Serikat telah lama menggunakan campuran etanol dalam bensin dengan tiga varian utama, yakni E10 (etanol 10%), E15 (etanol 15%), dan E85 (etanol 85%). E10—yang mengandung 10 persen etanol—kini menjadi standar nasional karena terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca tanpa mengorbankan performa mesin secara signifikan.
Baca Juga: Membidik Kemandirian Energi Lewat Mandatori Campuran Etanol 10 Persen pada BBM
Tren serupa juga terlihat di Eropa dan Asia, di mana pemerintah dan industri energi berlomba memperluas penggunaan bioetanol sebagai bagian dari komitmen global mengurangi emisi, termasuk Indonesia yang baru menggunakan etanol 3,5% dalam kandungan BBM nya.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yus Widjajanto, menjelaskan bahwa kadar etanol sebesar 3,5% dalam BBM Pertamina tergolong aman dan bahkan sesuai standar internasional.
“Kalau kandungan etanolnya hanya 3,5%, energi yang turun hanya sekitar 1%. Artinya daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen, dan itu tidak akan terasa dan tidak berpengaruh ke konsumsi bahan bakar maupun tarikan (performa) kendaraan,” kata Tri saat dihubungi, Rabu (7/10/2025).
Di Eropa, Uni Eropa pun tengah mengkaji penerapan bensin E20 atau campuran 20 persen etanol yang dinilai mampu menurunkan emisi karbon hingga 6 persen dibandingkan E10. Seperti dikutip dari EU Research & Innovation, kebijakan ini masih dalam tahap uji karena memerlukan kesiapan teknologi kendaraan dan pasokan bioetanol yang memadai.
Sementara itu, Argus Media mencatat peningkatan tajam konsumsi bensin E10 di Jerman berkat harga yang lebih kompetitif dan penerimaan masyarakat yang semakin baik terhadap bahan bakar ramah lingkungan.
India menjadi contoh negara berkembang yang agresif dalam mendorong program biofuel nasional. Seperti dikutip dari Press Information Bureau (PIB) Pemerintah India, negara tersebut menargetkan pencampuran 20 persen etanol dalam bensin (E20) pada tahun 2025 untuk menekan impor minyak mentah dan memberikan nilai tambah bagi petani tebu serta industri biomassa. Lembaga energi internasional juga mencatat tren serupa. Laporan International Energy Agency (IEA) yang berjudul
“Renewables 2023” menyebut, permintaan biofuel meningkat pesat di negara berkembang seperti Brasil, Indonesia, dan India. IEA memperkirakan konsumsi etanol global akan terus tumbuh seiring upaya dekarbonisasi transportasi yang kian masif.
Senada dengan itu, Dosen Jurusan Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Muhammad Rifqi Dwi Septian, menilai penggunaan etanol sangat baik untuk terus dikembangkan di tanah air.
“Kalau dikaji lebih lanjut dan terus ditindaklanjuti, penggunaan etanol sangat potensial. Selain lebih ramah lingkungan, juga bisa memperkuat ketahanan energi nasional,” ucapnya.
Rifqi juga menepis anggapan bahwa etanol dapat menyebabkan karat atau kerusakan mesin.
“Kalau produksinya sesuai standar dan sistem penyimpanannya baik, risikonya sangat kecil. Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” ujarnya.
Secara global, penerapan kebijakan biofuel kini menjadi arus utama di lebih dari 70 negara.
Seperti dikutip dari ResourceWise, Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadi pelopor dalam kebijakan wajib pencampuran etanol, sementara kawasan Asia Selatan dan Amerika Latin mulai mempercepat implementasinya. Tren ini menunjukkan bahwa etanol kini menjadi bagian penting dari masa depan energi bersih dunia.
Sejalan dengan tren global itu, pemerintah Indonesia juga mulai memperkenalkan kebijakan pencampuran etanol dalam BBM Pertamina. Namun, langkah ini sempat menuai reaksi dari sejumlah SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo yang menilai kandungan etanol dalam base fuel Pertamina berpotensi memengaruhi kualitas bahan bakar.
Baca Juga: Membaca Strategi SPBU Swasta Menghadapi Badai Kekeringan BBM
Etanol sendiri merupakan hasil fermentasi bahan nabati seperti tebu, jagung, atau singkong. Di banyak negara, senyawa ini sudah menjadi komponen wajib dalam bensin karena terbukti membantu peningkatan oktan dan penurunan emisi. Dengan demikian, langkah Indonesia untuk mengadopsi kebijakan serupa bukan hanya aman secara teknis, tetapi juga selaras dengan arah transisi energi bersih yang sedang ditempuh komunitas global.