Di pertengahan dasawarsa 70-an itu, Ciputra telah membangun perusahaan baru bernama Metropolitan Development, bersama dua sahabat karibnya Sofyan dan Brasali. Lewat perusahaan itu Ciputra mulai merealisasikan mimpinya menyulap Bintaro sebagai kota satelit. 

“Nah, saya kemudian mengusulkan agar Metropolitan membeli lahan Bintaro sebagai aset kami. Saya berdiskusi panjang dengan Metropolitan Development dan persetujuan datang. Kami akan membeli tanah di sana,” katanya lagi. 

Kendati usulan itu disetujui, namun perusahaan itu tak bisa memborong semua tanah di sana. Kendalanya adalah modal yang tak cukup, tetapi itu tidak menjadi soal buat Ciputra. Toh lahan-lahan kosong di sana bisa dicicil. 

Baca Juga: Ciputra dan Proyek Senen yang Melelahkan serta Sarat Hentakan Emosi

Singkat cerita, Ciputra dan rekan-rekannya berhasil membeli ratusan hektare di Bintaro setelah Grup Obayashi sebuah perusahaan Jepang ikut bergabung dalam proyek ini. Tetapi ini justru memicu masalah baru, Grup Obayashi justru mundur dan meminta dana yang telah dikucurkan segera dikembalikan karena kondisi keuangan perusahaan sedang tidak stabil, di satu sisi dana yang mereka kucurkan telah terpakai membeli lahan. 

“Dari mana uangnya? Sedangkan kami membangun saja belum. Tak ada yang bisa dijual. Dan saya sangat tak ingin melepaskan lahan di Bintaro karena rencana di kepala saya sudah bulat,” kata Ciputra. 

“Akhirnya satu ide muncul. Kenapa tidak saya jual saja pada Jaya? Toh, ada saya di sana. Saya tetap bisa mewujudkan impian saya untuk membangun kota satelit. Negosiasi pun saya lakukan pada para direksi. Saat itu jabatan saya di Jaya adalah Presiden Direktur, dan jajaran direksi terdiri atas Soekrisman, Hiskak Secakusuma, Hanafi Lauw, dan Eric Samola. Jaya setuju membeli lahan Bintaro dari Metropolitan,” pungkasnya.