Moms, pernahkah kamu bertanya-tanya, bagaimana caranya anak bisa mengenali dan menyampaikan apa yang ia rasakan di tubuhnya? Seperti bilang, “Aku gak enak tenggorokan,” atau “Aku sariawan”? Menurut Tasya Kamila, mom influencer itu mengatakan bahwa kemampuan anak mengenali dan menyampaikan tidak muncul tiba-tiba saat anak berusia lima tahun. Proses membangun komunikasi antara anak dan ibu dimulai jauh sebelum itu, bahkan sejak dalam kandungan.
Dalam acara kampanye edukatif #LangkahAwalIbu yang digelar oleh Larutan Cap Kaki Tiga Anak pada Selasa (08/07/2025), Tasya membagikan pengalamannya sebagai ibu muda yang aktif membangun koneksi emosional dengan anak sejak awal. Baginya, membiasakan anak untuk mengenali perasaan dan kondisi fisik butuh fondasi yang kuat, misalnya dengan bonding sejak dini, validasi emosi, dan komunikasi yang konsisten.
Baca Juga: Kampanye #LangkahAwalIbu Tekankan Pentingnya Deteksi Dini Panas Dalam pada Anak
“Anak bisa bilang sakit tenggorokan itu gak ujuk-ujuk langsung bisa ngomong begitu pas udah lima tahun. Itu dibangun dari awal, bahkan menurut aku dari masa hamil. Kita ajak ngobrol, kasih eye contact, terus ketika anak udah bisa bicara, emosinya divalidasi. Kalau tantrum, kita tenang dulu, lalu ajak bicara, kamu marah karena apa? Kamu nangis karena apa?” kata Tasya.
Ibu dari dua orang anak itu juga menceritakan bagaimana ia membaca sinyal tubuh anak lewat perilaku. Misalnya, saat anak menolak makan, bukan langsung dianggap manja, tapi dicari penyebabnya, apakah sedang sariawan, tenggorokan kering, atau memang tekstur makanannya tidak nyaman ditelan. Setelah itu, ia mengajak anak memahami penyebabnya bersama.
“Aku tunjukkan juga ke anak, ‘Lihat, ini ada sariawan ya, makanya gak enak makan.’ Jadi mereka belajar mengenali dan menyebutkan apa yang terjadi di tubuhnya,” jelas Tasya.
Baca Juga: Mengenal Sosok Tasya Kamila, dari Penyanyi Cilik hingga Aktivis Lingkungan
Dukungan serupa datang dari dr. Attila Dewanti, Sp.A(K). Ia menekankan bahwa kemampuan anak mengenali kondisi fisiknya dibentuk sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan, melalui interaksi dan contoh dari orang tua.
“Anak itu peniru ulung. Kalau kita ingin anak peka, ya kita harus duluan peka. Mulai dari babbling, ajak bicara, sampai memberi contoh mengelola emosi. Anak akan meniru cara kita merespons dunia,” ujar dr. Attila.
Dokter anak yang juga aktif membagikan konten edukatif di Instagram itu pun mengajak para orang tua untuk tidak menekan emosi anak. Menurutnya, menangis, marah, dan kesal adalah bagian dari proses tumbuh yang wajar, terutama di usia 2–4 tahun. Pada fase ini, anak memang cenderung menolak atau berkata “tidak” pada hampir semua hal. Itu bukan pembangkangan, melainkan bagian dari perkembangan otaknya yang belum sempurna.
Baca Juga: 10 Buku Parenting Terbaik yang Akan Membuat Anda Lebih Siap Mengasuh Anak
“Anak usia segitu memang suka ‘ngeselin’. Kalau anak tantrum, beri tempat aman, beri pelukan, validasi emosinya, lalu bantu dia kenali apa yang dia rasakan,” lanjutnya.
Baik Tasya maupun dr. Attila sepakat bahwa ketika anak sudah terbiasa mengungkapkan perasaan, mereka juga lebih mampu memberi tahu ketika ada yang tidak beres di tubuhnya. Di sinilah pentingnya ibu (dan ayah) membangun komunikasi yang terbuka sejak dini, karena anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh validasi dan kasih sayang, akan lebih siap mengenali tubuhnya sendiri.