Siapa sangka, di balik gemerlap pencakar langit dan megahnya kawasan hunian karya Ciputra Group, ada kisah sederhana tentang sepasang suami istri muda yang hidup dalam keterbatasan, namun sarat akan kehangatan, tekad, dan cinta.

Dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ir. Ciputra yang kini dikenal sebagai Maestro Properti Indonesia, mengisahkan bahwa ia memulai perjalanannya bukan dari tumpukan modal besar, melainkan dari keyakinan kuat akan pentingnya hidup hemat dan penuh perhitungan.

Bersama sang istri yang akrab disapa Dee, Ciputra sepakat menjalani hidup dengan prinsip, sebanyak mungkin menabung, sesedikit mungkin membelanjakan. Hidup mereka kala itu benar-benar diwarnai penghematan. Makan seadanya, menghindari pembelian barang-barang yang tidak penting, dan mencukupkan diri dengan apa yang ada. Namun, justru dalam kesederhanaan itu, semangat membangun masa depan ditegakkan dengan teguh.

“Kesederhanaan mewarnai hidup kami. Dee dan saya sama-sama sepakat, uang pendapatan kami harus banyak ditabung, sehingga kami benar-benar hidup mengirit. Makan seadanya. Dan tidak membeli hal-hal yang tidak terlalu penting,” tutur Ciputra, dikutip Olenka, Kamis (25/6/2025).

Dikatakan Ciputra, ia pun bangga dengan sang istri, karena dengan segala kelembutannya ia mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mereka. Bahkan saat sang istri mulai mengandung, Dee, kata Ciputra, tetap menjaga gaya hidup sederhana.

“Dee sangat mampu menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Kemudian setelah hamil, ia memenuhi kebutuhan nutrisi dan vitamin yang diperlukannya. Dapur kami hanya berisi bahan pangan secukupnya saja. Beruntung rumah kontrakan sudah diisi oleh perabotan sederhana sehingga kami tak perlu membeli apa-apa lagi kecuali barang-barang kecil pribadi,” terangnya.

Ciputra melanjutkan, kehidupannya di masa itu tidak mudah. Sebagai mahasiswa ITB, ia menghadapi beban ganda. Ketika kebanyakan teman sebayanya hanya memikirkan tugas dan ujian, Ciputra harus membagi pikiran dan tenaga untuk kuliah, mencari penghasilan, mengurus rumah, dan mendampingi sang istri yang sedang hamil.

“Saat itu saya harus memikirkan banyak hal. Ibu saya, Dee, berbagai keperluan rumah, dan urusan diri saya sendiri. Tapi sekali lagi, ini sudah menjadi pilihan saya. Jadi, saya jalani saja,” terang Ciputra lirih.

Saat itu, Ciputra fokus menghabiskan waktunya untuk kuliah dan bekerja. Hampir tak ada ruang untuk berleha-leha. Apa pun yang bisa ia kerjakan, ia kerjakan.

Ia pun mulai serius mendesain dan menjual furniture kecil-kecilan. Hasilnya memang tidak besar, tapi cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Terlebih, sang istri sedang mengandung anak pertamanya, dan itu jadi penyemangat sekaligus tanggung jawab baru Ciputra yang menanti di depan.

“Saya nyaris tak ada waktu untuk berleha-leha. Saya sibuk kuliah dan mencari uang. Apa saja yang bisa saya kerjakan akan saya kerjakan. Saat itu saya semakin giat mendesain furnitur kecil-kecilan dan menjualnya. Lumayan untuk menambah uang belanja. Apalagi, Dee sudah hamil. Kami akan segera memiliki anak,” ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Perantauan, Persahabatan, dan Awal Mula Mimpi Besar Ir. Ciputra di ITB

Hangatnya Tahun Pertama Pernikahan

Diakui Ciputra, tahun pertama pernikahannya adalah tahun yang penuh warna, bukan oleh kemewahan, tapi oleh cinta, kesederhanaan, dan kerja keras yang menyatu dalam harmoni. Di tengah keterbatasan, ia pun menemukan makna hidup yang sesungguhnya, yakni kebersamaan yang tulus dan semangat membangun masa depan dari nol.

Dee, sang istri, dengan cepat mampu beradaptasi. Ia luwes dan mandiri, tidak lagi canggung menjalani kehidupan di kota ini. Waktunya pun diisi dengan kegiatan bermanfaat, menjaga rumah tangga, dan menikmati ritme hidup sederhana.

“Kami melewati masa indah perkawinan di tahun pertama. Kesederhanaan, cinta kasih, dan kerja menjadi pewarna hidup yang menonjol. Dee dengan luwes mampu menyibukkan diri. Ia sudah tak canggung lagi di kota ini,” ujar Ciputra.

Tak hanya itu, sambung CIputra, sesekali ia pun meluangkan waktu bermain tenis bersama temannya, Brasali, dengan sepatu yang bolak-balik ia perbaiki karena jebol. Tapi, Ciputra mengaku tidak malu. Yang penting dirinya bisa berolahraga, bisa melepas penat sejenak dari kesibukan kuliah dan kerja.

“Kadang saya pergi bermain tenis bersama Brasali. Sepatu saya, lagi-lagi, bolak-balik diperbaiki karena jebol. Saya tidak malu sama sekali. Yang penting saya bisa berolahraga,” tukasnya.

Dijelaskan Ciputra, tahun 1955 menjadi babak baru dalam hidup dia. Putri pertamanya yang dinamai Rina lahir di sebuah klinik bersalin kecil di Bandung. Bayi perempuan mungil itu hadir dengan hidung bangir dan garis wajah yang begitu menyerupai dirinya. Sukacita pun meluap dalam hati Ciputra dan istri.

“Bayi cantik ini menghangatkan rumah mungil kami. Dee memutuskan cuti sementara untuk mengasuh dan membesarkan Rina. Kemudian setelah Rina bisa berjalan dan kami sanggup menggaji pengasuh, Dee kembali bekerja,” terang Ciputra.

Saat itu, kata Ciputra, Rina tumbuh menjadi anak yang lincah, ceria, dan tidak rewel. Seakan ia tahu, kedua orang tuanya harus membagi waktu untuk mencari nafkah. Tak pernah sekalipun ia menyusahkan orang tuanya. Justru kehadirannya menjadi penguat yang membuat Ciputra terus melangkah.

“Rina tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat lincah dan tidak rewel. la sepertinya paham kedua orangtuanya sibuk bekerja. Anak itu tak pernah menyusahkan kami,” tukas Ciputra.

Dengan adanya Rina, rumah kontrakan Ciputra yang sederhana pun berubah menjadi istana kecil yang hangat. Saat itu, Ciputra pun mulai menikmati hidup dengan caranya sendiri. Di tengah semua kebahagiaan kecil itu, Ciputra mulai berpikir tentang sang Ibu yang jauh di kampung halamannya. Ia pun ingin suatu hari nanti, sang Ibunda bisa merasakan hangatnya rumah yang ia bangun dengan kerja keras dan cinta.

“Tuhan begitu baik, ada saja rezeki untuk memenuhi kebutuhan kami. Susu dan makanan baik untuk Rina, dan juga uang untuk sesekali pelesir di wilayah Bandung. Saat itu mulai terpikir oleh saya, kapan saya bisa menjemput Mama,” paparnya.

Baca Juga: Bandung, Dee, dan Pernikahan Tanpa Pesta: Romansa Ir. Ciputra yang Tak Banyak Diketahui

Rumah Sederhana, Cinta Tak Terbatas

Meski saat itu Ciputra belum hidup berkecukupan, perlahan kehidupannya mulai stabil. Ekonomi rumah tangganya tak lagi terlalu mencemaskan. Setidaknya, cukup untuk mulai memikirkan hal-hal yang selama ini hanya iasimpan dalam hati, yakni memboyong sang Ibu tinggal Bersama keluarga kecilnya di Bandung.

“Gelisah sekali hati saya memikirkan Mama. Penyakitnya mungkin telah bertambah parah. Saya tak mau ia berada jauh dari saya ketika tubuhnya semakin kepayahan. Satu pikiran lagi, udara Bandung begitu sejuk dan bersih. Mama akan merasa nyaman berada di sini, karena udaranya baik untuk pernapasannya,” terang Ciputra.

Maka pada tahun 1957, akhirnya Ciputra pun bisa memboyong sang ibu ke Bandung. Saat itu, ibunya tidak datang sendiri, namun turut datang bersama Oen, anak angkat ibunya yang setia menemaninya sepanjang waktu.Keduanya pun tinggal selama beberapa bulan di rumah mungil Ciputra.

Bagi Ciputra, kehadiran sang ibu tercintanya itu adalah anugerah. Tapi setelah beberapa bulan, mereka pun kembali ke Parigi. Namun, tujuh tahun kemudian, tahun 1964, sang ibu datang kembali, kali ini bersama Oen dan Gina, cucu ibu Ciputra dari anak perempuan Akochi, untuk tinggal bersamanya di Jakarta, di rumah Ciputra di Jalan Talang.

“Dunia saya menjadi kian hangat dan semakin padat oleh cinta. Betapa bahagianya saya menyaksikan orang-orang yang saya cintai berada di dekat saya sehat, tersenyum, dan saling menguatkan,” ungkap Ciputra.

Dikatakan Ciputra, meski penyakit asma sang ibu memang masih sesekali kambuh, tapi Bandung yang dingin dan bersih menjadi obat alami baginya. Perlahan, tubuh sang ibu pun lebih kuat. “Setiap kali Mama tampak lebih tenang, hati saya ikut tenang. Ini kebahagiaan yang tak bisa ditakar dengan apa pun,” tukas Ciputra.

Tak hanya itu, lanjut dia, kehadiran sang ibu pun membawa warna baru dalam rumah kecilnya. Sang istri pun tampak lebih Bahagia, karena ada yang membantunya menjaga putrinya. Tak hanya itu, lanjut Ciputra, ia pun merasa kampung halaman seperti berpindah ke rumahnya melalui masakan sang ibu yang tiada dua lezatnya.

Kehidupan hangat dalam kesederhanaan ini pun membuat ia semakin terpacu untuk segera berkembang lebih cepat.

“Dengan adanya Mama dan Oen, praktis Dee juga menjadi senang. Ada yang turut menjaga Rina. Dan yang menggembirakan, dapur kami diwarnai kepul uap harum masakan Manado. Mama memasak dibantu pelayan kami,” beber Ciputra.

Dikatakan Ciputra, kehidupan hangat dalam kesederhanaan ini pun membuat ia semakin terpacu untuk segera berkembang lebih cepat.

“Saya ingin membahagiakan orang-orang yang saya cintai,” tandasnya.

Baca Juga: Dari Garasi Sunyi ke Proyek Bergengsi: Lika-liku Perjuangan Awal Karier Ir. Ciputra yang Menginspirasi