Menurutnya, nama Ernest Shackleton memang sering dibicarakan dalam buku-buku manajemen karena kepribadiannya yang karismatik dan heroik. Namun, ekspedisinya penuh drama dan kegagalan.
“Kalau Anda membaca buku manajemen yang banyak dibicarakan Shackleton. Karena orangnya sangat karismatik, bombastis, keluarga kaya. Apa-apa kayaknya heroik. Shackleton ini waktu dia mencari kutub selatan. Banyak orang, puluhan orang, ratusan orang dan banyak kuda,” tuturnya.
“Puluhan kuda atau berapa. Itu drama. Sampai disini kehabisan makanan. Sampai disini kudanya mati. Sampai disini ada orang yang mati. Sampai disini ada yang berantem. Sampai disini tiba-tiba cuaca berubah. Dia marah-marah ada timnya ada yang mati kedinginan,” lanjut Armand.
Berbeda dengan Shackleton, kata Armand, Roald Amundsen memimpin dengan pendekatan yang penuh persiapan. Ia mempelajari cara bertahan hidup dari masyarakat Eskimo di Alaska, belajar melatih anjing penarik kereta salju, dan memahami kondisi ekstrem kutub selatan.
“Yang kedua Amundsen. Boleh dicek di internet. Amundsen hanya berlima dan beberapa belas anjing. Dia studi dulu ke Alaska. Belajar dari orang Eskimo. Dia studi bagaimana mendidik anjing. Dia studi bagaimana makan seadanya. Bagaimana survive di situasi dingin segala macam,” ungkap Armand.
Hasilnya pun berbeda jauh. Ekspedisi Amundsen berjalan lancar tanpa drama, tanpa kehilangan anggota tim, bahkan nyaris seperti perjalanan hiking biasa.
“Dalam perjalanan mencapai kutub selatannya, tidak ada yang mati, seakan-akan cuma hiking biasa aja, kayak bertamasya,” tambahnya.
Dari kisah tersebut, Armand pun menyoroti bagaimana dunia kepemimpinan kerap lebih mengagungkan sosok-sosok karismatik dan heroik, dibandingkan pemimpin yang senyap namun efektif.
“Sayangnya di dunia leadership, banyak lebih membicarakan Shackleton daripada Amundsen. Kenapa? Amundsen tidak menarik,” beber Armand.
Menurut putra dari Robert Budi Hartono dan Widowati ini, kisah Ernest Shackleton memang penuh drama sehingga sering dijadikan contoh kepemimpinan dalam banyak buku manajemen. Namun, di balik kisah heroiknya, ekspedisi Shackleton penuh dengan penderitaan, kehilangan anggota tim, hingga kegagalan mencapai tujuan awal.
Sebaliknya, Roald Amundsen yang memimpin dengan persiapan matang dan strategi tepat justru jarang dibahas, meskipun seluruh timnya berhasil mencapai kutub selatan tanpa kehilangan satu pun anggota. Bagi Armand, inilah esensi kepemimpinan sejati.
Lulusan Magister Sains dari Universitas Stanford ini pun mengingatkan, menjadi pemimpin bukan tentang tampil dramatis atau heroik di mata orang lain, tetapi tentang memastikan seluruh tim mencapai tujuan dengan selamat, efektif, dan berkelanjutan.
“Sebagai pemimpin tolong pastikan kita menjadi pemimpin yang bijak. Membawa ke satu tujuan dengan cara yang benar,” pungkasnya.
Baca Juga: Kunci Bertahan di Masa Sulit, Armand Hartono Ungkap Pentingnya Jaga Cash Flow