Sekadar informasi, Umami adalah rasa yang telah ada sejak zaman dulu, meskipun istilahnya baru diidentifikasi pada tahun 1908 oleh Kikunae Ikeda, seorang ilmuwan Jepang. Dia menemukan bahwa rasa gurih yang khas, misalnya pada kaldu dashi, berasal dari senyawa bernama asam glutamat yang secara alami terdapat dalam rumput laut kombu, tomat, dan keju.

“Ada yang bertanya, “kenapa pedas tidak termasuk rasa dasar?” Pedas sebenarnya bukan rasa dasar, melainkan sensasi akibat gabungan elemen seperti rasa panas dari cabai,” papar Indra.

Berbeda lagi jika membicarakan cita rasa. Cita rasa merupakan gabungan dari panca indera yang dimiliki oleh manusia. Mulai dari mata, telinga, hidung, mulut, hingga tangan. Misalnya, aroma durian yang menyengat sering memengaruhi persepsi seseorang sebelum mencicipinya.

“Cita rasa mencakup pengalaman menyeluruh, termasuk tekstur, aroma, suhu, dan bahkan suara makanan saat dimakan. Jadi, kalau kita makan martabak hangat di sore hari, cita rasanya akan berbeda dibandingkan martabak yang sudah dingin di pagi hari,” jelas Indra.

Lantas, bagaimana proses untuk merasakan suatu makanan? Lanjut Indra, lidah memiliki banyak sekali reseptor atau taste bud, yakni sekira kurang lebih 3.000-10.000 reseptor.

“Nah, pada saat makanan kita coba, itu molekul-molekul makanan akan kena dengan reseptor yang ada di lidah kita. Nah, kemudian pada saat kita mencium, itu menciptakan sensasi yang sampai ke otak, langsung kita bilang, oh ini manis. Oh, ini asin. Oh, ini pahit, dan lain-lain. Kira-kira seperti itu ya, secara umum,” tambah Indra.

Cita Rasa Masakan Nusantara, Lekat dengan Budaya

Indonesia dikenal dengan kekayaan kuliner yang beragam dan penuh harmoni cita rasa. Cita rasa kuliner tidak hanya berbicara soal bahan dan bumbu masakan yang khas, tetapi juga lekat dengan budaya dan tradisi yang tercermin dalam setiap hidangan.

Food Enthusiast sekaligus founder MasakTV, Roby Bagindo, menilai bahwa cita rasa sangat berperan penting dalam masakan khas Nusantara. Ia juga menilai, ada makna mendalam dalam setiap makanan, dan cita rasa bukan hanya sebatas science sensory semata.

“Di makanan Indonesia itu kita orang Nusantara itu sebenarnya kalau makan itu bukan cuma buat badan doang. Jadi bukan cuma untuk kenyang doang. Jadi rata-rata makanan yang saya temukan di Nusantara rata-rata orang ada saat tertentu untuk makanan itu, dan ada cara tertentu untuk menikmatinya,” ujar Robby Bagindo dalam kesempatan yang sama.

Baca Juga: Seoptimal Apa Memulai Perkenalan dan Percakapan dengan Orang Baru Lewat Makanan?

Mengutip dari perkataan seorang tokoh, lanjut Robby, orang Indonesia, khususnya orang Nusantara, kalau suka musik, dibilangnya simpel: enak. Musik dianggap sebagai makanan jiwa. Begitu pun dengan makanan untuk tubuh manusia di Nusantara, juga dianggap enak karena bukan hanya terasa di lidah, tetapi juga memberikan ketenangan jiwa.

“Jadi, makanan di Nusantara punya fungsi yang lebih mendalam. Bukan cuma untuk memenuhi kebutuhan pancaindra, seperti aroma, tapi juga untuk menyentuh jiwa. Ketika kita melihat makanan, mengaguminya, bahkan menikmati proses makannya, semua itu membentuk pengalaman yang lebih kaya,” kata Robby.

“Sebagai contoh, di beberapa tradisi masjid, jika ada seseorang yang gagal ujian atau menghadapi tantangan besar, mereka bisa diberi makanan tertentu untuk membangkitkan semangat jiwa mereka. Artinya, makanan itu punya makna dan fungsi khusus, bukan hanya sekadar untuk memuaskan sensorik kita,” sambungnya.