Banyak orang mengenal Ir. Ciputra sebagai sosok tangguh, tegas, keras, dan pantang menyerah. Sosok yang suaranya menggelegar dalam rapat, yang melihat matahari sebagai tanda untuk mulai membanting tulang, dan yang masih bekerja bahkan ketika malam sudah larut.
Namun di balik semua ketegasan dan semangat kerjanya tersebut, tersembunyi sisi lain Ciputra yang jarang terlihat, yakni sisi yang lembut, romantis, dan rapuh di hadapan cinta.
“Saya adalah seseorang yang romantis dan bisa meneteskan air mata ketika kerinduan menggerogoti relung hati. Saya adalah seseorang yang bisa terkapar menderita dihajar kesunyian,” ungkap Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Rabu (25/6/2025).
Ya, tak banyak yang tahu bahwa di balik kerja keras dan reputasinya sebagai raksasa di dunia properti, Ciputra adalah pria yang sangat membutuhkan cinta. Bukan karena ia haus perhatian, tetapi justru karena ia setia.
Kecintaannya kepada dua perempuan yang paling penting dalam hidupnya, yakni ibunya dan sang kekasih, Dian Sumeler (yang akrab disapa Dee), menjadi bahan bakar batin yang tak pernah padam.
"Wajah mereka berdualah yang membayang di benak saya setiap hari. Bayangan mereka muncul di antara tetes keringat saya saat bekerja di proyek. Bayangan mereka hadir di malam-malam yang pekat dan hening di kamar kos,” beber Ciputra.
Kerinduan yang begitu dalam itu tak sekadar menjadi perasaan, tapi dorongan kuat untuk berubah. Keinginan untuk memeluk cinta, secara harfiah dan batiniah, mendorongnya membuat keputusan besar, ia harus memboyong ibu dan kekasihnya ke dekatnya, agar doa dan cinta mereka tak lagi hanya hadir dalam bayangan.
"Saya harus secepatnya memboyong mereka berdua. Harus. Saya juga harus menciptakan satu langkah besar dalam hidup untuk sesegera mungkin meraih kesejahteraan,” tegas Ciputra kala itu.
Namun, ia sendiri belum tahu bentuknya seperti apa. Ia belum tahu akan berada di kota mana. Namun satu hal pasti:, bila Bandung hanya menawarkan proyek-proyek yang stagnan dan repetitif, maka sudah saatnya untuk bergerak. Sudah waktunya untuk membuka lembaran baru di tempat yang lebih menjanjikan.
“Move on, bukan hanya soal meninggalkan tempat, tapi soal mengejar takdir yang lebih besar,” tegas Ciputra.
Sepenggal Kisah Cinta Ciputra dan Dee
Di balik sosoknya yang dikenal tegas, ambisius, dan gila kerja, Ciputra menyimpan sebuah kisah cinta yang sederhana namun mendalam. Cinta yang bukan hanya menjadi pengisi ruang hati, tapi juga penggerak langkah-langkah besar dalam hidupnya.
"Sebenarnya saya sudah terlatih berpisah dengan Dee. Setahun sebelum saya hijrah ke Bandung, Dee sempat kuliah di Surabaya mengambil D-1 ilmu akuntansi. Bukan main tersiksanya kami saat itu. Sama-sama dicengkeram perasaan rindu,” kenang Ciputra.
Menurutnya, komunikasi mereka hanya terjalin lewat surat. Di tengah jarak dan keterbatasan, tulisan tangan menjadi satu-satunya jembatan cinta. Tapi begitu Dee kembali ke Manado, justru Ciputra yang harus pergi. Ia diterima kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebuah pencapaian besar, namun juga pengorbanan besar untuk hubungan mereka.
"Sesungguhnya kami sudah terlampau dekat dan tak bisa dipisahkan lagi," ujar Ciputra.
Di kota Bandung yang sejuk, dengan segala perjuangan kuliah dan pekerjaan proyek, tekad Ciputra untuk membawa Dee ke sisinya menjadi impian jangka pendek yang paling membakar hati. Dalam surat-suratnya, ia menuangkan kerinduan dan harapannya dengan begitu jujur.
“Dee, kau akan segera berlayar ke Jawa. Kau harus ada di dekat saya. Kota ini sangat indah, Dee, tak kalah dengan Manado. Kau juga bisa mendapatkan pekerjaan di sini. Banyak sekali tempat yang membutuhkan ilmu yang kau kuasai. Dan rumah-rumah di sini cantik sekali. Kau akan menyukai rumah-rumah yang dibuat oleh Belanda. Semoga apa yang kita harapkan bisa terjadi, kau segera ke Bandung,” tulis Ciputra dalam salah satu surat.
Namun, impian itu bukan tanpa harga. Demi bisa menabung dan mendatangkan Dee serta sang ibunda ke Bandung, Ciputra rela menempuh hidup susah. Ia rela mengorbankan kenyamanan, bahkan kebutuhan dasar, demi sebuah cita-cita yang lebih besar, yaitu kebersamaan dan kesejahteraan keluarga.
"Saya mengirit uang mati-matian. Tak ada makanan mewah yang saya santap. Tak perlu makan ikan dan ayam. Cukup tahu, tempe, dan sayur,” bebernya.
Ia bahkan tak membeli baju dan sepatu baru. Sepatunya jebol berkali-kali, direkatkan dengan lem hingga bentuk moncongnya semakin aneh. Kemeja dan celananya semakin lusuh. Tapi ia tak merasa malu. Banyak mahasiswa di ITB yang juga datang dari keluarga sederhana.
"Di ITB juga banyak mahasiswa pendatang yang miskin. Saya tidak merasa malu berpenampilan sederhana karena pemandangan bersahaja juga terlihat di sana-sini,” jelas Ciputra.
Tentang Sepasang Hati yang Tak Menyerah
Di tengah hiruk-pikuk kuliah dan kerasnya hidup merantau, Ciputra muda pun membangun mimpinya pelan-pelan, bukan hanya tentang masa depan, tetapi juga tentang cinta. Cinta yang tak hanya hadir dalam kenangan atau surat, tapi cinta yang ingin ia hadirkan secara nyata di sampingnya, yakni Dee, sang kekasih.
“Saya giat mencari uang untuk hidup sederhana dan kuliah. Selain berjualan batik, saya juga mencoba mendesain perabotan rumah tangga dan menjualnya. Kecil-kecilan saja, tapi menghasilkan uang,” ungkapnya.
Dikatakan Ciputra, setiap rupiah yang didapatnya bukanlah hasil yang datang mudah. Makan pun sering dikurangi. Menahan lapar di ruang kuliah menjadi bagian dari ritme hariannya.
“Makan saya minim sekali. Menahan lapar di dalam ruang kuliah sudah menjadi napas hidup saya,” ujar Ciputra.
Namun di tengah perjuangan itu, hatinya tak berhenti memikirkan Dee yang jauh di Manado. Ia pun merasakan rindu yang tak lagi bisa dibendung, yang membuatnya merenung dalam-dalam.
“Saya pikir, untuk apa merentang lagi waktu yang panjang, menunggu saya lulus kuliah? Artinya kami baru akan kembali dekat setelah empat atau lima tahun lagi. Akan terjadi apa di dalam waktu yang cukup lama itu? Saya tak mau kehilangan Dee,” tegas Ciputra.
Maka satu keputusan besar pun dibuat. Ia ingin memanggil Dee datang ke Bandung, sebuah keputusan yang pada akhirnya mengubah arah hidup mereka berdua.
“Bandung juga bisa menjadi kota menarik bagi Dee untuk mengembangkan kariernya. Kota ini jauh lebih hidup dibanding Manado. Dee tidak akan menganggur di kota ini. Ada banyak kesempatan kerja,” bebernya.
Ciputra tahu bahwa kemungkinan ia kembali ke Manado sangat kecil. Pulau Jawa akan menjadi tanah masa depannya. Maka ia tak ingin menunda sesuatu yang pada akhirnya akan terjadi juga, yaitu hidup bersama dengan Dee, memulai perjuangan dari titik yang sama.
“Kau sudah bisa segera ke kota ini, Dee. Saya akan mencarikan kos untukmu, juga membantumu mencari pekerjaan,” tulisnya dalam surat yang penuh harap.
Dan, jawaban Dee pun dirasanya mantap. Dee menyambut ajakan Ciputra tanpa ragu. Dan, dua tahun setelah kuliah dimulai, Ciputra pun merasa cukup percaya diri untuk memboyong kekasihnya ke Bandung.
“Saya percaya diri untuk mengajak Dee tinggal di Bandung. Ia akan menyukai kota ini. Keyakinan saya begitu .Saya saja yang laki-laki begitu terpesona pada indahnya kota ini, apalagi Dee. Lagi pula, ia berpendidikan lumayan. Ia tidak akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sini,” terangnya.
Ketika Dee Tiba di Bandung
Di tengah kesibukannya kuliah dan bekerja, Ciputra mempersiapkan sesuatu yang sangat personal dan membahagiakan, yakni menyambut kedatangan orang yang ia cintai. Setelah lama terpisah jarak, akhirnya Dee, kekasihnya yang selama ini hanya hadir lewat surat-surat dan doa-doa lirih, akan segera datang ke Bandung.
"Proses keberangkatan Dee tidak lama. Selama ia dalam perjalanan, saya menyiapkan kebutuhannya di Bandung,” ujar Ciputra.
Bandung, menurutnya, pada pertengahan 1950-an, masih penuh dengan rumah-rumah gaya kolonial dan suasana yang asri. Mencari kamar kos bukan hal sulit. Ciputra pun akhirnya menemukan sebuah rumah indekos khusus perempuan dengan harga terjangkau dan kondisi yang layak. Tak hanya itu, ia juga mencarikan beberapa lowongan kerja yang cocok untuk Dee.
“Dee bisa mencoba dan memilih tempat yang ia suka. Kami akan kembali dekat dan pacaran tanpa dipisah jarak. Saya belum tahu apakah kami bisa menikah saat saya masih kuliah atau nanti setelah lulus. Entahlah. Tapi yang pasti, saya ingin dia di dekat saya,” paparnya.
Dan akhirnya, momen yang dinanti pun tiba. Di paruh kedua tahun 1954, Dee datang ke Bandung.
“Dengan senyumnya yang tak berubah, saya memeluknya erat. Kami benar-benar saling merindukan. Dee semakin cantik dan bersinar. Ia dengan sangat riang menuju rumah kos yang telah saya pilihkan untuknya. Ia menyukainya!,” ungkap Ciputra haru.
Menurutnya, Bandung langsung memikat hati Dee. Dengan gaya khasnya yang jenaka, ia berkata sambil mengerling,
“Kota yang cantik. Dan banyak gadis cantik. Keputusanmu tepat mengajakku ke sini segera,” ujar Ciputra, seraya menirukan perkataan Dee kala itu.
Setibanya di Bandung, Ciputra pun langsung membawa kekasihnya berkeliling kota dengan sepeda ontel. Berboncengan menyusuri jalanan Bandung yang sejuk dan rindang menjadi momen yang tak terlupakan bagi mereka berdua.
“Suara kekagumannya terus tercetus selama kami berkeliling,” kenangnya.
“Kau tak salah memilih kota ini. Benar-benar kota yang cantik!,” seru Dee berulang kali.
Menurut Ciputra, bukan hanya suasana yang membuat Dee betah. Meski sempat merindukan masakan Manado, yang tak mudah ia temukan di Bandung, Dee perlahan mulai menikmati masakan sederhana buatan pembantu rumah tangga mereka, meski hanya tahu dan tempe.
“Dee tak bisa memasak. Tapi ia belajar beradaptasi dan ternyata bisa. Ia punya semangat yang luar biasa,” tukasnya seraya tertawa kecil.
Dee pun tak menunggu lama untuk mencari pekerjaan. Dari beberapa opsi yang disiapkan Ciputra, ia tertarik pada lowongan di sebuah kedai makanan dan minuman, hanya 200 meter dari rumah kosnya yang dimiliki seorang warga Belanda. Posisi yang ditawarkan: bagian pembukuan.
“Barangkali karena penampilannya yang luwes dan cantik, ditambah ijazahnya, ia dengan sangat mudah diterima. Betapa mulusnya! Gajinya pun cukup baik, cukup untuk membiayai kos, makan, dan bahkan sedikit menabung,” cerita Ciputra.
Bagi Ir. Ciputra, kehadiran Dee di Bandung bukan sekadar pertemuan dua insan yang lama terpisah oleh jarak. Namun, itu adalah momen pemulihan, kebahagiaan, dan pembuktian bahwa cinta bisa tumbuh subur di tengah kesederhanaan dan kerja keras.
“Keberadaan Dee di Bandung benar-benar membuat saya bersuka cita. Kesibukan CV Daya Tjipta sudah cukup hidup, walau kami masih berselancar dengan proyek-proyek sederhana. Tidak masalah, yang penting saya punya penghasilan,” terangnya.
Dee, di sisi lain, kata dia, semakin menikmati kehidupannya di Kota Kembang. Toko tempatnya bekerja berkembang dengan baik, dipenuhi pelanggan, dan memberikan rasa bangga. Ia yang memang supel dan hangat, cepat menjalin pertemanan dan merasa betah.
“Saya lega melihat perkembangannya. Ia mencintai pekerjaannya, dan saya tahu ia mulai mencintai kota ini juga,” tukas Ciputra.
Dikatakannya, Bandung pun menjadi latar indah bagi masa pacaran mereka. Mereka menjelajahi taman-taman cantik, melewati Gedung Sate, dan menghabiskan waktu berdua dengan cara yang sangat sederhana, seperti berjalan-jalan, berbagi cerita, dan tertawa.
Namun, lanjut Ciputra, romansa itu tidak selalu tanpa kejutan.
“Tahu apa yang terjadi? Kami diperas dan dimintai uang di beberapa tempat. Jadi kami buru-buru keluar daripada harus membayar. Rupanya banyak spot menarik di Bandung memberlakukan aturan itu, termasuk kebun binatang. Setengah geli kami menggerutu,” bebernya.
Baca Juga: Kisah Perantauan, Persahabatan, dan Awal Mula Mimpi Besar Ir. Ciputra di ITB
Pernikahan ‘Prihatin’: Sederhana, tapi Penuh Makna
Dengan adanya Dee di Bandung, Ciputra pun lantas tersadar akan satu hal penting. Ia dan Dee sudah tak lagi sekadar sepasang kekasih yang terpisah oleh waktu dan jarak. Kini, mereka telah berada di kota yang sama. Sudah saling mencintai. Sama-sama bekerja. Dan perlahan mulai membangun masa depan.
“Sebenarnya apa lagi yang kami tunggu “Gaji kami sangat cukup untuk makan dan hidup secukupnya. Gaji akan terus berkembang karena kami akan terus bekerja keras. Jadi, saya ingin segera menikahi Dee,” paparnya.
Gagasan itu awalnya mengejutkan Dee, tetapi ia tak menolak. Cinta yang sudah mereka pupuk selama bertahun-tahun tak butuh banyak alasan untuk dirayakan dalam bentuk yang lebih sakral.
Tak menunggu lama, Ciputra segera mengirim kabar ke dua tempat penting, yakni ke Manado, yang tak lain kampung halaman Dee, dan Parigi, tempat ibunya tinggal. Reaksi dari kedua pihak datang lebih cepat dari yang diduga: restu dan persetujuan mengalir tanpa ragu.
“Tak dinyana ungkapan persetujuan muncul dengan cepat. Bagi mereka, kami memang sudah berjodoh, dan alangkah lebih baiknya jika diresmikan segera,” kenangnya.
Tanpa menunggu waktu, Ciputra mulai menyiapkan pernikahan. Namun dalam benaknya, tak ada pesta mewah, tak ada perayaan besar.
“Bukan, bukan pesta. Tidak ada sama sekali dalam benak saya niat untuk menggelar pesta. Uangnya dari mana? Saya hanya berpikir kami bisa menikah secara resmi. Itu saja. Itu sudah sangat luar biasa,” tukas dia.
Maka, pada paruh kedua tahun 1954, di sebuah kantor Catatan Sipil di Jalan Dago, Bandung, Ciputra dan Dee pun resmi mengikat janji suci. Tak ada pesta, tak ada gemerlap, bahkan tak ada musik pengiring. Hanya dua anak manusia yang yakin bahwa mereka ingin melangkah bersama, apapun yang terjadi.
“Saat itu saya mengenakan kemeja dan celana panjang yang rupanya paling lumayan. Dee mengenakan gaun sederhana yang manis,” tutur Ciputra.
Menurutnya, itulah hari yang mengubah hidup mereka. Bukan karena kemeriahan atau ucapan selamat dari banyak orang, tapi karena sejak saat itu, mereka bukan lagi dua orang yang saling mencintai dari kejauhan, melainkan pasangan suami-istri yang benar-benar berjalan dalam satu arah.
“Tak ada kemeriahan apa-apa. Tidak juga ada semburat istimewa yang mengisyaratkan sebuah perayaan. Usai menjalani peresmian pernikahan di Catatan Sipil, kami menuju rumah kos saya,” terang Ciputra.
Beberapa hari setelah menikah, Ciputra pun berhasil mendapatkan rumah kontrakan mungil di Jalan Cikapayang Nomor 3. Sebuah rumah tua peninggalan Belanda berwarna putih tulang. Rumah itu adalah tipe vebe, rumah sewa khas zaman kolonial yang dibagi untuk dua keluarga.
“Rumah itu disewakan pada dua keluarga. Jadi, ada dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi untuk kami, namun ruang tamu dan ruang makan bercampur dengan keluarga penyewa yang lain,” terangnya.
Namun, keberuntungan masih berpihak kepadanya. Penyewa lain tersebut bukan keluarga besar, melainkan seorang pria paruh baya berdarah Cekoslowakia bernama Mister Pelikan. Hal ini pun memberi mereka cukup ruang untuk menikmati kehidupan baru sebagai pasangan.
Dan yang lebih menggembirakan, rumah itu memiliki pekarangan yang cukup lapang. Sebidang kecil tanah yang bagi Ciputra dan Dee bukan sekadar halaman, tapi ruang untuk bernapas, bercita-cita, dan membayangkan masa depan.
“Hunian yang bagi orang lain adalah tempat sederhana ini, bagi kami terasa bagai bangunan mewah,” ujarnya.
Itulah awal pernikahan mereka. Tak ada bulan madu, tak ada istirahat panjang dari rutinitas. Ciputra tetap kuliah dan bekerja keras, sementara Dee kembali bekerja di toko makanan dan minuman milik keluarga Belanda. Tapi satu hal berubah secara mendalam, yaknihati yang dulu merindukan, kini telah menemukan tempatnya.
“Kami sudah menikah! Dee telah resmi menjadi istri saya. Tiada hal emosional yang mewarnai hari-hari awal pernikahan kami. Tapi satu hal yang membedakan rasa saya adalah kebahagiaan tiada tara karena akhirnya saya sungguh-sungguh memiliki Dee dalam arti yang sebenarnya,” pungkas Ciputra.
Baca Juga: Mengulik Potret Kecil Ir. Ciputra: dari Luka dan Trauma Menjadi Legenda Properti Indonesia