Ia menambahkan, melalui peragaan busana, pameran, dan diskusi, para peserta memperkenalkan narasi budaya masing-masing, baik melalui tekstil tradisional, teknik pengerjaan, maupun filosofi desain.

“Paparan seperti ini membantu mematahkan stereotip dan membangun apresiasi terhadap keberagaman budaya di industri mode global,” tukasnya.

Menyuarakan Sustainability dan Circular Fashion

Selama Summit, para ahli dari Indonesia dan Asia membahas ekosistem mode kawasan, praktik berkelanjutan, serta kontribusi mode terhadap citra internasional negara-negara Asia. Sustainability menjadi tema sentral, dengan perhatian khusus pada circular fashion.

“Di Indonesia, kami memiliki semua serat alami yang dibutuhkan, mulai dari daun pisang, bambu, serat kelapa, hingga rami,” kata Liliek Setiawan.

“Namun, tantangannya adalah tingginya biaya bahan baku ini karena permintaan masih terbatas. Agar produksi serat ramah lingkungan dapat berkembang dalam skala besar, dibutuhkan permintaan pasar yang kuat. Semuanya bergantung pada hukum permintaan dan penawaran. Karena itu, saya mengajak kita semua untuk mulai mengenakan pakaian yang hanya terbuat dari serat alami,” tambahnya.

Dalam kurun tiga tahun, BRICS+ Fashion Summit telah mempertemukan perwakilan industri mode dari 109 negara, lebih dari separuh dunia.

Dalam dialog multinasional ini, kontribusi Indonesia dengan ide-ide visioner dan talenta kreatifnya menonjol sebagai salah satu kekuatan pendorong yang menetapkan arah baru bagi masa depan mode global.

Baca Juga: ‘Essential Lab’ Jadi Tema JMFW 2026, Targetkan Modest Fashion Indonesia Mendunia