Kesepakatan ini diumumkan langsung oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen untuk membeli energi senilai USD15 miliar dan produk pertanian senilai USD4,5 miliar dari pasar AS, di samping 50 unit pesawat jet Boeing.
Tak hanya menyentuh angka ekspor, tetapi juga memengaruhi fondasi ekonomi nasional. “Kenaikan tarif AS bisa mengancam kedaulatan ekonomi, stabilitas sosial, dan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya para pelaku ekspor padat karya. Bahkan, dalam skenario ekstrem, bisa memicu PHK besar-besaran di Indonesia.”
Oleh karena itu, sebagai legislator, EBY hadir untuk mendengar dan menerima langsung aspirasi pelaku usaha. “Rekan-rekan butuh kehadiran negara. Solusi bangkit: strategi ekspor Indonesia. Pendek kata, dunia usaha meminta solusi konkret.”
Lebih jauh, dalam menghadapi tekanan global ini, wakil rakyat dari Dapil Jatim VII ini mengingatkan bahwa arah perjuangan ekonomi Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai dasar kebangsaan. “Kita tidak boleh kehilangan arah. Kita harus kembali pada fondasi kebangsaan kita, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai arah moral dan politik pembangunan ekonomi.”
“Kita wajib memastikan bahwa perdagangan luar negeri tidak melemahkan kemandirian bangsa,” imbuhnya.
EBY, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Kadin, kemudian memaparkan secara detail berbagai strategi yang harus ditempuh. “Momentum ini harus kita manfaatkan untuk memperkuat ekonomi bangsa dan untuk membangun ketahanan ekspor nasional, sehingga kita perlu pikirkan bersama segala rekomendasi untuk bangsa. Kita dorong terciptanya solusi dalam renegosiasi ulang atau negosiasi bilateral ke AS.”
Edhie Baskoro lalu menambahkan berbagai alternatif sinergi, di antaranya: “Diversifikasi geografis melalui percepatan ratifikasi IEU, UAE, Turki, dan Kanada-CEPA. Perkuat ekspor ke Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan. Diversifikasi produk ekspor, fokus pada hilirisasi mineral, otomotif, elektronik, digital, halal, dan farmasi.”
“Skema insentif fiskal untuk produk bernilai tambah ekspor. Perbaikan sistem logistik dan infrastruktur ekspor, termasuk modernisasi pelabuhan, reformasi ‘dwell time’ dan biaya kontainer. Penguatan sertifikasi dan standardisasi produk, termasuk pelatihan teknis dan labelisasi (halal, SNI).”
“Digitalisasi ekspor dan ‘trade platform’ dalam satu ekosistem digital nasional.Penguatan mekanisme ‘hedging’ dan subsidi bunga ekspor untuk menjaga nilai tukar dan menahan volatilitas pasar. Kurangi 23% biaya logistik dari PDB.”
Edhie Baskoro juga menyambut baik percepatan pembahasan IEU‑CEPA (Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement), sebuah peluang strategis baru untuk memperluas akses pasar dan mengurangi ketergantungan terhadap tarif Amerika.
Menutup sambutannya, Ibas menyampaikan optimisme yang kuat “Jalan kita tak mulus. Di tengah tantangan global ini, saya percaya bangsa Indonesia mampu bangkit lebih kuat. Kita punya semangat gotong royong, daya juang tinggi, dan kekayaan sumber daya luar biasa.”
“Mari kita jaga kekompakan antara pusat dan daerah, pemerintah dan swasta, legislatif dan eksekutif. Karena hanya dengan kerja sama yang kuat, kita bisa menjawab tantangan global secara bermartabat. Ekspor kita harus lebih hebat. Ekonomi kita harus lebih tangguh.”
Abdul Sobur, Founder Kriya Nusantara, salah satu peserta, menyampaikan aspirasinya. “Tentu dengan tarif besar ini pasti memberikan dampak luar biasa pada kami, terutama lapangan kerja, sesuai yang disampaikan Mas Ibas. Sejak awal narasi disampaikan, para pembeli kami menahan diri, tidak mengambil keputusan dalam waktu dekat. Ketika pemerintah mendorong kita mencari jalan lain, misal ke Eropa, ada baiknya pemerintah maupun DPR/MPR lebih tajam melihat daya saing sebagai masalah utama, terutama regulasi yang harus kita benahi. Kita harus memiliki kemampuan yang berimbang atau lebih baik dari negara lain, karena di usaha kriya bahan kayu dan tenaga kerja kita sangat unggul,” ungkapnya.