Dunia usaha meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengkaji lebih dalam rencana penghapusan kuota impor, sebagaimana yang disampaikan saat Sarasehan Ekonomi Nasional pada tanggal 8 April 2025. Jika benar direalisasikan, kebijakan penghapusan kuota impor dinilai akan memberi dampak positif maupun negatif.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, melihat setidaknya tiga (3) dampak positif dari kebijakan tersebut. Pertama, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan para pemburu rente, yakni orang atau kelompok yang mencari keuntungan ekonomi dengan memanipulasi aturan, regulasi, kebijakan, dan anggaran negara.

Baca Juga: Membedah Rencana Penghapusan Kuota Impor, Bagaimana Tanggapan Para Menteri dan Peneliti?

"Yang kedua adalah bagaimana Pak Prabowo Subianto ingin menciptakan persaingan yang terbuka dan transparan bagi lebih banyak importir. Sementara yang ketiga adalah terbukanya pasar barang murah dan variatif bagi masyarakat," jelasnya, dikutip Jumat (11/4/2025).

Akan tetapi, kebijakan ini juga menyimpan sejumlah dampak negatif jika terlalu terburu-buru diterapkan. Ajib mengingatkan kondisi industri dalam negeri yang belum kompetitif dibandingkan dengan pasar luar. Penerapan kebijakan yang asal-asalan ditakutkan akan menurunkan daya saing produk dalam negeri.

"Dengan begitu, Indonesia akan menjadi pasar impor buat produk-produk luar negeri," tegasnya.

Dengan belum kompetitifnya produk dalam negeri, kebijakan penghapusan kuota impor akan memperbesar potensi hancurnya bisnis UMKM. Produktivitas sektor pertanian, perikanan, dan sektor-sektor usaha lain di Indonesia masih rendah, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain yang sudah didukung oleh high technology serta cost rendah.

"Sebagai contoh, petani di Indonesia rata-rata panen jagung paling di kisaran 7, 8, atau 9 ton dengan harga pokok penjualan atau HPP-nya di kisaran Rp4.000 sampai Rp5.000 per kg. Industri dalam negeri masih kalah saing dengan, misalnya, Amerika dengan Afrika yang sudah high technology di mana mereka sudah bisa menghasilkan 15 ton per hektare," ujarnya mencontohkan.

Dampak negatif lainnya adalah potensi bertambahnya pengangguran karena tutupnya bisnis UMKM dan berkurangnya sektor padat karya. Salain itu, kebijakan menghapus kuota impor juga akan mengganggu neraca dagang Indonesia.

"Neraca dagang Indonesia bisa mengalami konstraksi dan terjadi defisit dagang dengan negara mitra secara global. Ketika kemudian itu terjadi, potensi dan risikonya ada di kebijakan moneter karena daya tekan terhadap mata uang rupiah akan makin besar. Selain itu, kebijakan fiskal juga akan makin tertekan karena sebagian APBN Indonesia ditopang oleh hutang, termasuk hutang dengan valuta asing," ujarnya mengingatkan.

Baca Juga: Donald Trump Tunda Penerapan Tarif Impor Resiprokal 90 Hari

Oleh karena itu, dunia usaha meminta Pemerintah Indonesia untuk mendesain kebijakan secara komprehensif. Sistem dan tata kelola usaha di Indonesia perlu diperbaiki, salah satunya dengan mereduksi tingginya biaya produksi. Indonesia menetapkan bunga pinjaman ke sektor usaha di kisaran 10%-12%. Padahal, banyak negara maju yang menetapkan bunga pinjaman ke sektor usaha dengan lebih kompetitif, di kisaran 3%-5%.

"Dari sudut pandang cost of fund saja, kompetitif pengusaha Indonesia sudah rendah. Apalagi kalau dikaji dengan regulasi yang complicated, aspek perpajakan yang belum begitu pro dengan dunia usaha, dan lain-lain," tegasnya.

Dengan menimbang berbagai hal tersebut, Presiden Prabowo Subianto diminta untuk menyiapkan kebijakan penguat yang pro terhadap dunia usaha. Ajib pun menilai, pemerintah bisa menetapkan kebijakan penghapusan kuota impor dalam beberapa tahun ke depan ketika memang pemerintah sudah bisa membangun ekosistem bisnis yang baik.

"Sekali lagi, dunia usaha pada prinsipnya mendukung program pemerintah sepanjang pemerintah bisa mendesain kebijakan-kebijakan secara komprehensif dan pro dengan pertumbuhan dan pro dengan pemerataan," tutupnya.