Growthmates, pernah nggak sih kamu merasa terlalu semangat mengejar banyak hal dalam waktu bersamaan, biar terlihat produktif dan maksimal? Awalnya sih niatnya bagus— ingin berkembang. Tapi tanpa sadar, semangat itu berubah jadi tekanan yang bikin kamu terus memaksa diri. Kalau sudah begitu, hati-hati, bisa jadi kamu lagi terjebak dalam toxic productivity.
Toxic productivity atau produktivitas yang beracun dapat digambarkan sebagai kebutuhan yang tidak terkendali untuk merasa produktif setiap saat, dengan cara apa pun, dan hal itu dapat membahayakan kesehatan mental dan fisik.
Seseorang yang sudah terjebak dalam toxic productivity biasanya akan merasa tertekan jika tidak terus-menerus produktif dan sibuk, bahkan merasa bersalah saat beristirahat atau 'tidak melakukan apa pun. Bisa dibilang, mereka lebih memprioritaskan pekerjaan dengan mengorbankan kesehatan mental dan fisik, bahkan hubungan.
“Produktivitas yang beracun melibatkan bekerja dan perlu menjadi produktif, bahkan dengan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan Anda sendiri. Anda merasa seperti “apa pun yang terjadi, Anda berada dalam rasa urgensi”. Itu adalah tekanan sosial untuk selalu tampil dan selalu produktif,” ujar Jennifer Moss, pembicara profesional dan penulis “Why Are We Here?: Creating a Work Culture Everyone Wants seperti dikutip dari laman CNBC Make It, Rabu (16/4/2025).
Baca Juga: Putri Tanjung Cerita soal Pengalamannya Terjebak di Toxic Productivity, Apa Itu?
Toxic productivity seringkali menyerupai tanda-tanda kelelahan. Bedanya, kamu masih bisa menyelesaikan tugas dan tetap terlihat terlibat. Tapi, di balik itu semua, tubuh dan pikiranmu sebenarnya sudah lelah, dan kondisi ini nggak bisa dipertahankan dalam jangka panjang.
“Salah satu hal yang mulai kami lihat adalah bahwa setelah orang bekerja berjam-jam, mereka sebenarnya kehilangan produktivitas, sehingga mereka memperoleh lebih sedikit keuntungan,” kata Moss.