“Saya Bangga pada Prestasi, Bukan Kepemilikan”
Sebagaimana kita ketahui, Ciputra adalah sosok yang dibesarkan oleh masa kecil yang keras dan penuh perjuangan. Ia tumbuh dalam bayang-bayang trauma akibat perlakuan kerabatnya. Dan, ketika akhirnya kembali ke keluarga, kedamaian pun tak bertahan lama.
“Saya adalah laki-laki yang memiliki trauma luar biasa pada masa kecil. Walau tahun terus berganti dan usia saya semakin bertambah, bayangan perlakuan para kerabat saya di masa kecil sangatlah membekas,” terangnya.
Ciputra lantas mengatakan, saat masa penjajahan Jepang, ia pun menyaksikan sang ayah diseret polisi militer dan wafat di penjara. Kehilangan sosok ayah menjadikan hidup Ciputra dan keluarganya serba sulit. Ia pun mau tidak mau harus berjuang keras untuk bisa makan dan bersekolah.
“Itulah cara didik yang membesarkan saya. Keras dan berat. Dendam? Tidak, meski saya sangat terluka oleh perlakuan itu. Tapi saya menemukan hikmah yang luar biasa,” kenang Ciputra.
Ciputra mengaku, trauma masa kecil justru menjadi energi pendorongnya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Ia menegaskan, pendidikan keras bukanlah hal yang salah, namun perlu disesuaikan dengan zaman.
“Anak-anak saya lahir di era yang jauh lebih sejahtera. Mana mungkin saya kembalikan mereka ke zaman saya, ditempeleng dan harus berburu babi untuk mencari makan?,” ujar Ciputra.
Dengan pemikiran tersebut, pada 22 Oktober 1981, Ciputra pun akhirnya mendirikan perusahaan keluarga, PT Citra Habitat Indonesia (PT CHI), bersama sang kakak, Tjie Tjin Hok (Ako). Namun keputusannya itu mengundang banyak pertanyaan.
Ketika Ciputra mendirikan PT Citra Habitat Indonesia, banyak orang heran dengan langkahnya. Mereka menyindir, mengapa ia justru menciptakan kompetitor baru alih-alih membesarkan Metropolitan dan Jaya Group yang sudah lebih dulu mapan.
“Hei Ciputra, kenapa kau malah menciptakan kompetitor? Kenapa tak besarkan saja Metropolitan dan Jaya Group dengan melahap semua proyek yang ada?,” tukas Ciputra seraya menirukan perkataan orang-orang kepadanya.
Namun, Ciputra memiliki visi besar yang melampaui kepentingan pribadinya. Ia menjawab dengan tegas.
“Yes, saya memang menciptakan kompetitor. Tapi sekaligus saya meluaskan arena bisnisnya. Jika properti berkembang dengan pemain-pemain baru, otomatis akan ada persaingan dan perkembangan. Bisnis akan tumbuh, ekonomi pun berdenyut. Saya tidak mau berada di tengah masyarakat yang lesu. Jika bangsa Indonesia sejahtera, bukankah itu juga menyenangkan saya untuk berbisnis?” jawab Ciputra kala itu.
Pertanyaan lain pun muncul. Banyak yang ragu akan keberpihakannya.
“Jadi nanti perusahaan mana yang akan kau menangkan? Kau pasti akan membela perusahaan keluarga karena ada anak-anakmu di sana,” ujar orang-orang kepadanya kala itu.
Namun, bagi Ciputra, jawabannya sangat jelas. Ia bukanlah tipe orang yang berbangga hanya karena memiliki sesuatu.
“Kalau kau mengenal baik Ciputra, pastilah kau tahu, bukan itu yang saya pikirkan. Saya tidak pernah bangga pada kepemilikan. Saya bangga atas prestasi yang saya buat. Sia-sialah kepemilikan jika tak ada sesuatu pun yang membanggakan di dalamnya. Saya bangga pada Jaya Group dan Metropolitan Group karena saya melakukan sesuatu yang berarti di sana, bukan karena saya memilikinya,” bebernya.
“Begitu pula dengan perusahaan keluarga. Anak-anak saya akan saya didik untuk bangga bukan karena mereka memiliki perusahaan, tapi karena mereka berbuat sesuatu yang berarti di dalamnya. Catat itu!,” tegasnya.
Baginya, perusahaan keluarga bukanlah sekadar alat menghasilkan uang. Jika dijalankan dengan benar, perusahaan keluarga adalah tempat menanam nilai-nilai hidup yang esensial.
“Perusahaan keluarga bisa mencerai-beraikan, tapi juga bisa mempersatukan, tergantung cara mendidik dan membinanya. Sangat berbahaya jika yang menggerakkannya hanya semangat mengejar keuntungan sebesar-besarnya lalu dibagi-bagi,” terangnya.
Ia pun mengatakan, perusahaan keluarga harus menjadi arena berjuang yang melatih kebersamaan.
“Cinta kasih, kesetiakawanan, kepedulian kepada saudara, empati, kejujuran, kerendahan hati, dan saling memperbaiki adalah semangat yang harus terus dibangun. Keuntungan perusahaan menjadi bonusnya,” tandasnya.
Baca Juga: Bandung, Dee, dan Pernikahan Tanpa Pesta: Romansa Ir. Ciputra yang Tak Banyak Diketahui