Di dasawarsa 80-an, nama Founder Ciputra Group, Ir. Ciputra, sudah identik dengan pembangunan berskala besar di Indonesia. Melalui Jaya Group, ia menggandeng pemerintah kota Jakarta untuk menghadirkan berbagai proyek monumental.

Dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Maestro PropertiIndonesia ini menceritakan bahwa di tahun tersebut, Jakarta sedang berlari cepat mengejar ketertinggalannya, pembangunan tumbuh di mana-mana. Proyek Ancol semakin berkembang, Bintaro Jaya mulai dirancang, dan sederet pembangunan infrastruktur lain menanti untuk diwujudkan.

“Bisnis saya saat itu sudah cukup laju,” kenang Ciputra, dikutip Olenka, Rabu (16/7/2025).

Ciputra mengatakan, Metropolitan Development, salah satu perusahaan yang ia besarkan, juga bergerak agresif menangkap peluang. Booming minyak bumi di era 70-an membuat ekonomi Indonesia tumbuh pesat, menjadikan properti sebagai ladang bisnis yang menggiurkan.

Sebagai sosok yang sudah menekuni dunia properti sejak era 60-an, Ciputra memiliki keunggulan besar. Pengalamannya, penguasaan lahan, serta jaringan yang luas, membuat langkahnya jauh di depan para pengusaha properti baru yang masih mempelajari medan.

Metropolitan Development kian bersinar dengan proyek-proyek besar. Kawasan Pondok Indah mulai dibangun, dan kavling-kavling miliknya laku bak kacang goreng. Bersama pengusaha Atang Latief, ia mendirikan Hotel Horizon di Ancol.

Menariknya, Atang tidak hanya menanamkan 50% modal, tetapi juga meminjamkan dana untuk memenuhi kewajiban Ciputra di proyek tersebut. Utang itu kemudian dilunasi dari pemasukan hotel. Begitu kuatnya posisi tawar Ciputra berkat reputasi yang sudah terbangun.

Kedekatan Ciputra dengan taipan Liem Sioe Liong juga membuka peluang besar. Pada dasawarsa 70-an, Metropolitan Development bersama Liem Sioe Liong, Henry Keswick dari Jardine Matheson Group Hong Kong, dan S.P. Tao dari Shing Kwan Group Singapura mendirikan PT Jakarta Land untuk membangun Wisma Metropolitan dan World Trade Center di Jalan Sudirman.

Padahal, semula Liem Sioe Liong mengusulkan agar gedung perkantoran dibangun di kawasan Hayam Wuruk atau Gajah Mada. Namun, Ciputra berpendapat lain. Baginya, masa depan pusat bisnis Jakarta akan berada di Jalan Sudirman, meski kala itu kawasan tersebut masih sepi. Keyakinannya terbukti. Tanpa kesulitan berarti, mereka berhasil mengakuisisi hampir sepuluh hektare tanah strategis di sana.

Tak berhenti di situ, Metropolitan Development juga membangun Gedung BRI di Sudirman, yang kemudian dijual dengan keuntungan besar. Masa depan perusahaan semakin cerah dengan deretan proyek yang datang silih berganti.

Di tengah kesuksesan besarnya, Ciputra selalu menekankan pentingnya perjuangan dalam hidup.

“Anak-anak harus berjuang. Kalau hidupnya terlalu mudah, mereka tidak akan kuat menghadapi tantangan,” kata Ciputra.

Baca Juga: Sekolah Kehidupan ala Ciputra: Membesarkan Anak Lewat Perjuangan, Bukan Pemberian

Anak Harus Mengenal Perjuangan

Dari luar, hidup keluarga Ciputra tampak begitu sempurna. Siapa yang tidak berpikir, “Enak sekali jadi anak-anak Ciputra. Sang ayah sudah memiliki dua perusahaan besar. Mereka tinggal bergabung selepas kuliah.”

Saat itu, anak-anak Ciputra sudah beranjak dewasa. Rina, si sulung, telah lulus kuliah. Adik-adiknya, Junita, Candra, dan Cakra masih menempuh pendidikan tinggi. Namun, jika seseorang bertanya kepada Ciputra, ke mana anak-anaknya akan diarahkan? Jawabannya tidak seperti dugaan kebanyakan orang.

“Dalam bayangan ideal saya, anak-anak saya bukanlah orang yang datang merubung perusahaan ayahnya yang dibangun bersama beberapa partner, lalu berharap mendapat posisi. Tidak. Oh, big no no,” tegas Ciputra.

Bagi Ciputra, membiarkan anak-anaknya sekadar menumpang di perusahaannya bukanlah pilihan bijak.

Ia pun lantas membayangkan jika anak-anaknya, ditambah anak-anak dari partner-nya seperti Brasali dan Sofyan, serta kelak cucu-cucu mereka, semua masuk ke dalam satu perusahaan, maka perusahaan akan penuh dengan “bos” tanpa ruang pembelajaran.

Ia menegaskan bahwa anak-anaknya harus memiliki wadah usaha sendiri.

“Saya selalu ingat masa lalu ketika saya hanyalah remaja kurus dan miskin yang berkhayal menjadi orang besar. Saya menyadari, justru kemiskinan dan perjuangan keraslah yang membuat saya bisa membangun bisnis yang berhasil,” kenang Ciputra.

Filosofi hidup Ciputra pun sederhana, jika ingin anak-anaknya sukses, mereka juga harus merasakan perjuangan.

“Mereka tak boleh hanya menikmati hasil kerja sang ayah. Sebab, kekuatan Ciputra tidak akan abadi. Anak-anaknya perlu membangun kekuatan mereka sendiri agar bisa berdiri kokoh sebagai pribadi mandiri,” tuturnya,

Ia pun menepis anggapan bahwa mendidik anak akan lebih mudah ketika orang tua memiliki banyak uang.

“Ya, memang lebih leluasa menyekolahkan anak ke mana pun yang kita anggap baik. Tapi jika kita bicara soal pendidikan mental, sulit. Ketika uang berlimpah, orangtua sering tak sadar apakah mereka sedang mendidik atau memanjakan anak,” ujarnya.

Baginya, kasih sayang orangtua seringkali membuat mereka lupa batasan. Melimpahi anak dengan uang tanpa mengenalkan makna perjuangan justru bisa menjadi pendidikan yang salah.

“Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang realistis dalam mengenalkan makna perjuangan,” tegas Ciputra.

Baca Juga: Kisah di Balik Kesuksesan Ciputra Membangun Dufan: Impian Besar, Trauma Masa Kecil, dan Cinta untuk Keluarga

“Saya Bangga pada Prestasi, Bukan Kepemilikan”

Sebagaimana kita ketahui, Ciputra adalah sosok yang dibesarkan oleh masa kecil yang keras dan penuh perjuangan. Ia tumbuh dalam bayang-bayang trauma akibat perlakuan kerabatnya. Dan, ketika akhirnya kembali ke keluarga, kedamaian pun tak bertahan lama.

“Saya adalah laki-laki yang memiliki trauma luar biasa pada masa kecil. Walau tahun terus berganti dan usia saya semakin bertambah, bayangan perlakuan para kerabat saya di masa kecil sangatlah membekas,” terangnya.

Ciputra lantas mengatakan, saat masa penjajahan Jepang, ia pun menyaksikan sang ayah diseret polisi militer dan wafat di penjara. Kehilangan sosok ayah menjadikan hidup Ciputra dan keluarganya serba sulit. Ia pun mau tidak mau harus berjuang keras untuk bisa makan dan bersekolah.

“Itulah cara didik yang membesarkan saya. Keras dan berat. Dendam? Tidak, meski saya sangat terluka oleh perlakuan itu. Tapi saya menemukan hikmah yang luar biasa,” kenang Ciputra.

Ciputra mengaku, trauma masa kecil justru menjadi energi pendorongnya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Ia menegaskan, pendidikan keras bukanlah hal yang salah, namun perlu disesuaikan dengan zaman.

“Anak-anak saya lahir di era yang jauh lebih sejahtera. Mana mungkin saya kembalikan mereka ke zaman saya, ditempeleng dan harus berburu babi untuk mencari makan?,” ujar Ciputra.

Dengan pemikiran tersebut, pada 22 Oktober 1981, Ciputra pun akhirnya mendirikan perusahaan keluarga, PT Citra Habitat Indonesia (PT CHI), bersama sang kakak, Tjie Tjin Hok (Ako). Namun keputusannya itu mengundang banyak pertanyaan.

Ketika Ciputra mendirikan PT Citra Habitat Indonesia, banyak orang heran dengan langkahnya. Mereka menyindir, mengapa ia justru menciptakan kompetitor baru alih-alih membesarkan Metropolitan dan Jaya Group yang sudah lebih dulu mapan.

“Hei Ciputra, kenapa kau malah menciptakan kompetitor? Kenapa tak besarkan saja Metropolitan dan Jaya Group dengan melahap semua proyek yang ada?,” tukas Ciputra seraya menirukan perkataan orang-orang kepadanya.

Namun, Ciputra memiliki visi besar yang melampaui kepentingan pribadinya. Ia menjawab dengan tegas.

“Yes, saya memang menciptakan kompetitor. Tapi sekaligus saya meluaskan arena bisnisnya. Jika properti berkembang dengan pemain-pemain baru, otomatis akan ada persaingan dan perkembangan. Bisnis akan tumbuh, ekonomi pun berdenyut. Saya tidak mau berada di tengah masyarakat yang lesu. Jika bangsa Indonesia sejahtera, bukankah itu juga menyenangkan saya untuk berbisnis?” jawab Ciputra kala itu.

Pertanyaan lain pun muncul. Banyak yang ragu akan keberpihakannya.

“Jadi nanti perusahaan mana yang akan kau menangkan? Kau pasti akan membela perusahaan keluarga karena ada anak-anakmu di sana,” ujar orang-orang kepadanya kala itu.

Namun, bagi Ciputra, jawabannya sangat jelas. Ia bukanlah tipe orang yang berbangga hanya karena memiliki sesuatu.

“Kalau kau mengenal baik Ciputra, pastilah kau tahu, bukan itu yang saya pikirkan. Saya tidak pernah bangga pada kepemilikan. Saya bangga atas prestasi yang saya buat. Sia-sialah kepemilikan jika tak ada sesuatu pun yang membanggakan di dalamnya. Saya bangga pada Jaya Group dan Metropolitan Group karena saya melakukan sesuatu yang berarti di sana, bukan karena saya memilikinya,” bebernya.

“Begitu pula dengan perusahaan keluarga. Anak-anak saya akan saya didik untuk bangga bukan karena mereka memiliki perusahaan, tapi karena mereka berbuat sesuatu yang berarti di dalamnya. Catat itu!,” tegasnya.

Baginya, perusahaan keluarga bukanlah sekadar alat menghasilkan uang. Jika dijalankan dengan benar, perusahaan keluarga adalah tempat menanam nilai-nilai hidup yang esensial.

“Perusahaan keluarga bisa mencerai-beraikan, tapi juga bisa mempersatukan, tergantung cara mendidik dan membinanya. Sangat berbahaya jika yang menggerakkannya hanya semangat mengejar keuntungan sebesar-besarnya lalu dibagi-bagi,” terangnya.

Ia pun mengatakan, perusahaan keluarga harus menjadi arena berjuang yang melatih kebersamaan.

“Cinta kasih, kesetiakawanan, kepedulian kepada saudara, empati, kejujuran, kerendahan hati, dan saling memperbaiki adalah semangat yang harus terus dibangun. Keuntungan perusahaan menjadi bonusnya,” tandasnya.

Baca Juga: Bandung, Dee, dan Pernikahan Tanpa Pesta: Romansa Ir. Ciputra yang Tak Banyak Diketahui