Hasil survei sederhana menunjukkan bahwa 15% hingga 25% pekerja panen (harvester) di Kalimantan berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara alami, pekerja asal NTT menjadi andalan di perkebunan sawit karena mereka dikenal sebagai pekerja keras dengan fisik yang kuat.
Dengan karakteristik tersebut, mereka memenuhi dua syarat utama untuk menjadi pemanen sawit yang produktif, sehingga mampu menghasilkan upah 2 hingga 3 kali lipat dari Upah Minimum Provinsi (UMP).
Namun, seiring meningkatnya migrasi pekerja dari NTT ke Kalimantan, peluang bagi agen rekrutmen juga terbuka lebar. Sayangnya, tidak semua agen mematuhi ketentuan yang ada dan melakukan rekrutmen secara unprosedural. Hal ini tidak hanya merugikan pekerja, tetapi juga meningkatkan risiko perdagangan orang (TPPO), yang dapat berdampak buruk pada citra industri sawit.
Baca Juga: GAPKI: Kopi dan Sawit Adalah Komoditas Global Kebanggaan Indonesia
“Kita harus berhati-hati dan memastikan bahwa setiap proses rekrutmen dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ungkap Sumarjono Saragih selaku Ketua Bidang Pengembangan SDM Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melalui Instagram pribadinya yang dikutip Olenka pada Sabtu (19/10/2024).
Menanggapi masalah ini, Pemerintah Kabupaten Manggarai Raya, yang mencakup Manggarai Barat, Manggarai Tengah, dan Manggarai Timur, telah mengambil inisiatif untuk menata dan meningkatkan pengawasan terhadap proses rekrutmen pekerja sawit.
Baca Juga: Industri Sawit Mendukung Kemandirian Energi Nasional
Mereka juga berkolaborasi dengan asosiasi pengusaha sawit, seperti GAPKI untuk memastikan bahwa rekrutmen dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan perlindungan bagi pekerja sawit asal NTT dapat ditingkatkan, memastikan kesejahteraan mereka dan memperbaiki citra positif industri sawit di Indonesia.