Wacana menggulirkan hak angket di DPR demi menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 masih terus digaungkan calon Presiden nomor urut 1 Ganjar Pranowo. Usulan menggelar interpelasi itu kekinian berpolemik. Pro kontra tak dapat dihindari.
Sampai sekarang ini, Ganjar terus mendorong partai pengusungnya untuk segera menggelar hak angket di Parlemen Senayan.
Secara teoritis, pengusulan hak angket sebenarnya sudah dapat digulirkan, mengingat dari sejumlah partai pengusung Ganjar-Mahfud, ada dua parpol yang saat ini berada di DPR yakni PDI Perjuangan yang menjadi penguasa Senayan dengan total kursi sebanyak 128 dan PPP dengan jumlah kursi sebanyak 19 kursi.
Baca Juga: Hasan Nasbi: Prabowo Adalah Kesabaran yang Panjang, Tak Ada yang Lebih Tabah Darinya
Mengutip Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, interpelasi dapat diusulkan oleh 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi.
Usul hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.
Meski secara jumlah sudah memenuhi syarat, namun hingga kini rencana menggulirkan hak angket itu hanya sebatas wacana, tak ada tindakan nyata. Hal ini yang kemudian membuat publik berasumsi, bahwa interpelasi dugaan kecurangan Pemilu 2024 memang tak bisa dilakukan di DPR RI. Itu hanya gertak sambal saja.
Asumsi publik semakin kuat dengan pernyataan berbagai kalangan akademisi yang menyebut hasil pemilu memang tak bisa di-angket sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang independen. Kerja KPU telah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, mereka tidak bisa ditekan pihak manapun termasuk DPR lewat ancaman hak angket.
Interpelasi Tak Bisa Gugurkan Hasil Pemilu
Di tengah Pro Kontra hak angket dugaan kecurangan Pemilu itu, cawapres pendamping Ganjar Pranowo, Mahfud MD menyebut sejatinya interpelasi masih tetap bisa dilakukan di DPR, hanya saja penyelidikan di Parlemen tak bisa menggurkan hasil Pemilu. Pernyataan Mahfud sejalan dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra.
Baca Juga: Dilantik Jokowi Jadi Menteri ATR/BPN, Segini Harta Kekayaan AHY yang Tercatat di LHKPN
Interpelasi sifatnya hanya menyelidiki dugaan kecurangan lewat jalur politik. Apabila dalam penyelidikannya terdapat adanya pelanggaran yang dilakukan, maka yang dihukum adalah para pelanggar tanpa menggugurkan hasil pemilu itu sendiri.
"Jalur politik melalui angket di DPR yang tak bisa membatalkan hasil pemilu,” kata Mahfud MD dalam sebuah cuitan di akun X@mohmahfudmd dilansir Olenka.id Selasa (27/2/2024).
Kendati demikian Mahfud mengatakan, interpelasi di DPR justru mengancam kedudukan Presiden. Kepala Negara kata dia bisa diganjar sanksi politik jika terbukti terlibat dalam pelanggaran tersebut, sanksi yang paling berat adalah pemakzulan.
“Tapi (angket) bisa menjatuhkan sanksi politik kepada Presiden, termasuk impeachment, tergantung pada konfigurasi politiknya,” tegas Mahfud.
Meski hak angket tak memberi ruang untuk membatalkan hasil Pemilu, namun menurut Mahfud hasil pemilu masih bisa dianulir lewat jalur hukum di Mahkama Konstitusi (MK).
Untuk menggugurkan hasil Pemilu itu, para pelapor harus menyertakan bukti-bukti kuat dan yang terpenting adalah nyali hakim MK memutus perkara tersebut.
"Jalur hukum melalui MK yang bisa membatalkan hasil pemilu asal ada bukti dan hakim MK berani," tuturnya.
Jokowi Jadi Sasaran Tembak Interpelasi
Sementara itu, pengamat politik Citra Institute Yusak Farhan menduga ada agenda jahat di balik wacana hak angket yang digulirkan Ganjar Pranowo.
Menurutnya, sasaran tembak dari rencana hak angket itu bukan untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu, namun hal itu untuk menyerang muruah Presiden Joko Widodo. Citra Kepala Negara hendak dicoreng lewat cara ini.
"Lebih jauh dari itu, ada target-target politik yang ujungnya adalah mendegradasi muruah Presiden Jokowi,” kata Yusak.
Yusak berbeda pandangan dengan Mahfud MD, dia menilai hak angket salah sasaran, jika materi yang hendak di-angket adalah hasil Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurutnya sasaran angket mestinya diarahkan pada pihak eksekutif atau pemerintah.
“Hak angket yang benar mestinya diletakkan dalam konteks pengawasan terhadap eksekutif," ucapnya.
Yusak menegaskan, dugaan kecurangan pemilu tak bisa diselidiki lewat angket di dewan Senayan. Idealnya, sengketa pemilu diselesaikan di Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) atau di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini telah termaktub dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
“Dugaan kecurangan pemilu kan sudah ada mekanisme hukumnya,” terangnya.