Sementara itu, kesimpulan yang bisa ditarik dari rangkaian pertemuan di Brussel ini, antara lain:

  1. Terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya.
  2. Masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah.
  3. “Kompetisi” antara minyak kelapa sawit dengan minyak rapeseed maupun sunflower.

UE dan negara-negara produsen kelapa sawit sepakat untuk terus melanjutkan diskusi yang konstruktif untuk menjembatani pemahaman kedua pihak dalam menyelesaikan isu ini. Beberapa langkah yang akan dilakukan, antara lain:

  1. Setelah Parlemen Eropa yang baru terbentuk hasil Pemilu Mei 2019, akan segera dilakukan diskusi dengan Pemerintah Indonesia terkait hal ini.
  2. Beberapa pemangku kepentingan industri kelapa sawit di UE akan membentuk wadah komunikasi terkait upaya kampanye positif kelapa sawit di UE.
  3. Para pelaku usaha dari perusahaan multinasional (MNCs) juga sepakat untuk mendukung secara penuh upaya Pemerintah RI dalam menanggapi kebijakan diskriminatif ini.

Baca Juga: Potensi Pasar Minyak Sawit di Cina: Ada Kemungkinan Permintaan Tinggi Beberapa Tahun ke Depan

Upaya diplomasi yang dilakukan secara bersama ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan keberatan bersama yang disampaikan oleh Presiden Indonesia dan Perdana Menteri (PM) Malaysia serta Ketua DPR RI.

Di samping itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) juga telah menyampaikan kekecewaan dan meminta agar proses pengesahan aturan diskriminatif tersebut dapat dihentikan.